Posted by : Anak Bone Sabtu, 20 Oktober 2012


Teori Kemiskinan
Pada dasarnya, kemiskinan merupakan persoalan klasik yang telah ada sejak umat manusia ada. Kemiskinan merupakan persoalan kompleks, berwajah banyak, dan tampaknya akan terus menjadi persoalan aktual dari masa ke masa. Meskipun sampai saat ini belum ditemukan suatu rumusan ataupun formula penanganan kemiskinan yang dianggap paling berdayaguna, signifikan, dan relevan, pengkajian konsep dan strategi penanganan kemiskinan harus terus menerus diupayakan. Pengupayaan tersebut tentu sangat berarti hingga kemiskinan tidak lagi menjadi masalah dalam kehidupan manusia.
Seperti diketahui, terdapat banyak teori dan pendekatan dalam memahami kemiskinan. Namun jika disederhanakan, setidaknya dalam untuk keperluan penelitian ini, maka terdapat dua paradigma atau teori besar (grand theory) mengenai kemiskinan: yakni paradigma neo-liberal dan sosial demokrat. Kedua paradigama tersebut pertama yang memandang kemiskinan dari kacamata struktural, dan yang kedua secara individual. Pandangan ini kemudian menjadi basis dalam menganalisis kemiskinan ataupun dalam merumuskan kebijakan dan program-program yang berusaha mengatasi kemiskinan.
a.       Teori Neo-Liberal; Shannon, Spicker, Cheyne, O’Brien dan Belgrave mengatakan bahwa kemiskinan merupakan persoalan individu yang bersangkutan. Kemiskinan akan hilang jika pertumbuhan ekonomi dipacu setinggi-tingginya. Ini berarti strategi penanggulangan kemiskinan bersifat “residual” sementara, yang melibatkan keluarga, kelompok swadaya atau lembaga keagamaan. Negara akan turut campur ketika lembaga-lembaga di atas tidak lagi mampu menjalankan tugasnya. Penerapan Jaminan Pengaman Sosial (JPS) di Indonesia adalah contoh nyata pengaruh teori ini.
Teori neo-liberal berakar pada karya politik klasik yang ditulis oleh Thomas Hobbes, John Lock dan John Stuart Mill yang intinya menyerukan bahwa komponen penting dari sebuah masyarakat adalah kebebasan individu. Dalam bidang ekonomi, karya monumental Adam Smith, the Wealth of Nation (1776), dan Frederick Hayek, The Road to Serfdom (1944), dipandang sebagai rujukan kaum neo-liberal yang mengedepankan azas laissez faire, yang oleh Cheyne, O’Brien dan Belgrave (1998) disebut sebagai ide yang mengunggulkan “mekanisme pasar bebas” dan mengusulkan “the almost complete absence of state’s intervention in the economy.” Secara garis besar, para pendukung neo-liberal berargumen bahwa kemiskinan merupakan persoalan individual yang disebabkan oleh kelemahan-kelemahan dan/atau pilihan-pilihan individu yang bersangkutan. Kemiskinan akan hilang dengan sendirinya jika kekuatan-kekuatan pasar diperluas sebesar-besarnya dan prtumbuhan ekonomi dipacu setinggi-tingginya. Secara langsung, strategi penaggulangan kemiskinan harus bersifat “residual”, sementara, dan hanya melibatkan keluarga, kelompok-kelompok swadaya atau lembaga-lembaga keagamaan. Peran negara hanyalah sebagai “penjaga malam” yang baru boleh ikut campur manakala lembaga-lembaga di atas tidak mampu lagi menjalankan tugasnya (Spicker, 1995; Cheyne, O’Brien dan Belgrave, 1998). Penerapan program-program structural adjustment, seperti Program Jaringan Pengaman Sosial atau JPS, di beberapa negara merupakan contoh kongkrit dari pengaruh neo-liberal dalam bidang penanggulangan kemiskinan ini.
Akan tetapi, keyakinan yang berlebihan tehadap keunggulan mekanisme pasar dan pertumbuhan ekonomi yang secara alamiah dianggap akan mampu mengatasi kemiskinan dan ketidakdilan sosial mendapat kritik dari kaum sosial demokrat. Pendukung sosial demokrat menyatakan bahwa “a free market did not lead to greater social wealth, but to greater poverty and exploitation…a society is just when people’s needs are met, and when inequality and exploitation in economic and social relations are eliminated” (Cheyne, O’Brien dan Belgrave, 1998).
b.  Teori Demokrasi Sosial; Teori ini memandang bahwa kemiskinan bukanlah persoalan individu, melainkan struktural. Kemiskinan disebabkan oleh adanya ketidakadilan dan ketimpangan dalam masyarakat akibat tersumbatnya akses kelompok kepada sumber-sumber kemasyarakatan. Teori Demokrasi Sosial menekankan pentingnya manajemen dan pendanaan negara dalam pemberian pelayanan sosial dasar (pendidikan, kesehatan, perumahan, dan jaminan sosial) bagi seluruh warga negara. Karena meskipun teori ini tidak anti sistem ekonomi kapitalis, namun merasa perlu ada sistem negara yang mengupayakan kesejahteraan bagi rakyatnya.
Teori sosial demokrat memandang bahwa kemiskinan bukanlah persoalan individual, melainkan struktural. Kemiskinan disebabkan oleh adanya ketidakadilan dan ketimpangan dalam masyarakat akibat tersumbatnya akses-akses kelompok tertentu terhadap berbagai sumber-sumber kemasyarakatan. Teori yang berporos pada prinsip-prinsip ekonomi campuran ini muncul sebagai jawaban terhadap depresi ekonomi yang terjadi pada tahun 1920-an dan awal 1930-an. Sistem negara kesejahteraan yang menekankan pentingnya manajemen dan pendanaan negara dalam pemberian pelayanan sosial dasar, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan dan jaminan sosial, sangat dipengaruhi oleh pendekatan “ekonomi manajemen-permintaan” (demand-management economics) gaya Keynesian ini.
Meskipun tidak setuju sepenuhnya terhadap sistem pasar bebas, kaum sosial demokrat tidak memandang sistem ekonomi kapitalis sebagai evil. Bahkan kapitalis masih dipandang sebagai bentuk pengorganisasian ekonomi yang paling efektif. Hanya saja, kapitalisme perlu dilengkapi dengan sistem negara kesejahteraan agar lebih berwajah manusiawi. “The welfare state acts as the human face of capitalism,” demikian menurut Cheyne, O’Brien dan Belgrave, (1998).
Pendukung sosial demokrat berpendapat bahwa kesetaraan merupakan prasyarat penting dalam memperoleh kemandirian dan kebebasan. Pencapaian kebebasan hanya dimungkinkan jika setiap orang memiliki atau mampu menjangkau sumber-sumber, seperti pendidikian, kesehatan yang baik dan pendapatan yang cukup. Kebebasan lebih dari sekadar bebas dari pengaruh luar; melainkan pula bebas dalam menentukan pilihan-pilihan (choices). Dengan kata lain, kebebasan berarti memiliki kemampuan (capabilities) untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Misalnya, kemampuan memenuhi kebutuhan dasarnya, kemampuan menghindari kematian dini, kemampuan menghindari kekurangan gizi, kemampuan membaca, menulis dan berkomunikasi. Negara karenanya memiliki peranan dalam menjamin bahwa setiap orang dapat berpartisipasi dalam transaksi-transaksi kemasyarakatan yang memungkinkan mereka menentukan pilihanpilihannya dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Menurut pandangan sosial demokrat, strategi kemiskinan haruslah bersifat institusional (melembaga). Program-program jaminan sosial dan bantuan sosial yang dianut di AS, Eropa Barat, dan Jepang, merupakan contoh strategi anti kemiskinan yang diwarnai oleh teori sosial demokrat. Jaminan sosial yang berbentuk pemberian tunjangan pendapatan atau dana pensiun, misalnya, dapat meningkatkan kebebasan karena dapat menyediakan penghasilan dasar dengan mana orang akan memiliki kemampuan (capabilities) untuk memenuhi kebutuhan dan menentukan pilihanpilihannya (choices). Sebaliknya, ketiadaan pelayanan dasar tersebut dapat menyebabkan ketergantungan (dependency) karena dapat membuat orang tidak memiliki kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dan menentukan pilihan-pilihannya.
Dirumuskan secara tajam, maka dapat dikatakan bahwa kaum neoliberal memandang bahwa strategi penanggulangan kemiskinan yang melembaga merupakan tindakan yang tidak ekonomis dan menyebabkan ketergantungan. Sebaliknya, pendukung sosial demokrat meyakini bahwa penanggulangan kemiskinan yang bersifat residual, beorientasi proyek jangka pendek, justru merupakan strategi yang hanya menghabiskan dana saja karena efeknya juga singkat, terbatas dan tidak berwawasan pemberdayaan dan keberlanjutan. Apabila kaum neoliberal melihat bahwa jaminan sosial dapat menghambat “kebebasan”, kaum sosial demokrat justru meyakini bahwa ketiadaan sumber-sumber finansial yang mapan itulah yang justru dapat menghilangkan “kebebasan”, karena membatasi dan bahkan menghilangkan kemampuan individu dalam menentukan pilihan-pilihannya (choices).
c. Teori Marjinal
Teori Marjinal  berasumsi bahwa kemiskinan di perkotaan  terjadi dikarenakan adanya ‘kebudayaan kemiskinan’ (culture of poverty)  yang tersosialisasi di kalangan masyarakat atau komunitas tertentu.
Oscar Lewis (1966) adalah tokoh dari aliran teori Marjinal, konsepnya yang terkenal adalah Culture of Poverty . Menurut Lewis, masyarakat di Dunia Ketiga menjadi miskin karena adanya Culture of Poverty (Kebudayaan Kemiskinan) , dengan karakter:
1)      Apatis, menyerah pada nasib
2)      Sistem-sistem keluarga yang tidak mantap
3)      Kurang pendidikan
4)      Kurang ambisi untuk membangun masa depan
5)      Kejahatan dan kekerasan merupakan hal yang lumrah
Ada 2 (dua) pendekatan pererencanaan yang bersumber dari pandangan Teori Marjinal:
1)      Prakarsa harus datang dari luar komunitas.
2)      Perencanaan harus berfokus pada perubahan nilai,  karena akar masalah ada pada nilai.



d. Teori Development
Teori Developmental (bercorak pembangunan) muncul dari teori-teori pembangunan terutama  neo liberal. Teori ini mencari akar masalah kemiskinan pada persoalan ekonomi dan masyarakat sebagai satu kesatuan
Ada 3 (tiga asumsi dasar dari teoeri ini:
1.      Negara menjadi miskin karena ketiadaan atribut industrialisasi, modal, kemampuan menajerial, dan prasarana yg di perlukan untuk peningkatan ekonomi
2.      Pertumbuhan ekonomi adalah kriteria utama pembangunan yang dianggap dapat mengatasi masalah-masalah ketimpangan
3.      Kemiskinan akan hilang dengan sendiri bila pasar diperluas sebesar-besaranya dan pertumbuhan ekonomi dipacu setinggi-tingginya.
Ketiga asumsi tersebut, terlihat bahwa kemiskinan yang terjadi di kota-kota bukan  persoalan budaya, sebagaimana anggapan penganut Teori Marjinal (Cultur of Poverty) melainkan persolana ekonomi dan pembangunan.
Implikasi Teori Developmental pada Perencanaan dan kebijakan:
1.      Bahwa rencana-rencana pembangunan harus diarahkan pada kekuatan-kekuatan produksi, efisiensi perkotaan, penghematan skala (economic of scale) dan perolehan modal investasi.
2.      Perencanaan pembangunan harus diarahkan pada peningkatan prasarana yang dapat mengatasi masalah ketimpangan.
3.      Perencanaan untuk meningkatkan penyediaan sarana dan prasarana pendidikan dan kesehatan.
4.      Perencanaan-proyek-proyek pemberdayaan masyarakat (community empowerment)





e. Teori Struktural
Tepri ini didasari oleh pemikiran yang berasal dari Teori Dependency (Teori Ketergantungan) yang diperkenalkan oleh Andre Gunder Frank (1967) “Capitalism and the Underdevelopment in Latin America”, dan juga oleh Teothonio Dos Santos, dan Samir.
Teori Struktural berasumsi bahwa kemiskinan dikota-kota Dunia Ketiga terjadi bukan karena persoalan budaya, dan juga bukan bukan persoalan pembangunan ekonomi, melainkan persoalan struktural, yang hanya dapat dijelaskan dalam konstelasi politik-ekonomi Dunia.
Teori Dependensi mengajukan 3 asumsi utama:
1.      Dunia didominasi oleh suatu perekonomian tunggal sedemikian rupa sehingga semua negara di Dunia diintegrasikan ke dalam lingkungan produksi kapitalisme yg menyebabkan keterbelakangan di negara Periphery.
2.      Negara-negara Core (Inti) menarik surplus dari negara-negara periphery  melalui suatu matarantai metropolis-satelit.
3.      Sebagai akibatnya negara-negara Periphery menjadi semakin miskin, dan negara-negara Core menjadi semakin kaya.
Dengan berdasar pd pemikiran Dependency tsb, Teori Struktural mengajukan asumsi bahwa kemiskinan di Dunia Ketiga harus dilihat pada suatu konstelasi ekonomi internasional dan struktur politik global yg menerangkan bhw ketergantunganlah itulah yg menjadi penyebab negara-negara terkebelakang & masyarakatnya menjadi makin miskin.
Ada 4 (empat) pendekatan Perencanaan yang bersumber dari asumsi-asumsi Teori Struktural dan Dependency:
1.      Kemiskinan harus dilihat secara dinamis dari bagaimana usaha dan kemampuan kaum miskin itu sendiri dalam merespon kemiskinan mereka
2.      Indikator  kemikinan semestinya merupakan indikator yg komposit dengan unit analisis keluarga (rumah tangga) dan jaringan sosial (social work) yang ada disekitarnya.
3.      Konsep kemampuan sosial (social capability) dipandang lebih lengkap dari pada konsep pendapatan.


f. Teori Artikulasi Moda Produksi
Teori Artikulasi Moda Produksi adalah salah satu teoeri dalam jajaran studi-studi pembangunan yang dikembangkan oleh Pierre-Phillipe Rey, Meillassoux, Terry, dan Taylor, dari pemikiran Karya Karl Marx dan Frederic Engels mengenai Moda Produksi (Mode of Poduction)
Teori ini berasumsi bahwa reproduksi kapitalisme di negara-negara periphery terjadi dalam suatu simultanitas tunggal di mana pada sisi periphery, terjadi artikulasi dari sedikitnya dua moda produksi (moda produksi kapitalis dan moda produksi pra-kapitalis
Koeksistensi dari kedua  moda produksi tersebut menghasilkan eksploitasi tenaga kerja murah dan problem akses bagi kelompok masyarakat miskin yg masih tetap berada dalam ranah moda produksi pra-kapitalisme atau pra-kapitalis atau non-kapitalis
Strategi penanganan kemiskinana ditawarkan oleh Teori Artikulasi Moda Produksi  dikenal dengan “person-in-environment”, dan “person-in-situation” yang dianalogikan sebagai strategi “ikan-kail”
1)      Memberikan keterampilan memancing
2)      Menghilangkan dominasi kepemilikan kolam ikan oleh keleompok elit dalam masyarakat.
3)      Mengupayakan perluasan akses pemasaran bagi penjualan ikan.
Teori Artikulasi Moda Produksi melandasai 2 (dua) macam pendekatan: Moderat dan Radikal
Pendekatan Moderat, meliputi:
1)      Pemberian bantuan sosial dan rehabilitasi sosial yang diselenggarakan oleh panti-panti sosial
2)      Program jaminan perlindungan dan asuransi kesejahteraan sosial.
3)      Program-program pemberdayaan masyarakat (Country/ society empowerment).



Pendekatan Radikal  meliputi:
1)      Bahwa justeru di dalam masyarakat itu sendiri terjadi ketidak-adilan dan ketimpangan, yang menyebabkan taraf hidup sebagain warna masyarakatnya tetap saja rendeh
2)      Karenanya kebijakan yang paling tepat adalah gerakan untuk mengadakan reformasi dan tranformasi terhadap berbagai intitusi yang dianggap kurang menguntungkan kaum miskin
KEBIJAKAN YANG DI AMBIL PEMERINTAH
·         Mengadakan reformasi dan tranformasi terhadap berbagai intitusi yang dianggap kurang menguntungkan kaum miskin
  • Bahwa rencana-rencana pembangunan harus diarahkan pada kekuatan-kekuatan produksi, efisiensi perkotaan, penghematan skala (economic of scale) dan perolehan modal investasi.
·         Perencanaan pembangunan harus diarahkan pada peningkatan prasarana yang dapat mengatasi masalah ketimpangan.
·         Perencanaan untuk meningkatkan penyediaan sarana dan prasarana pendidikan dan kesehatan.
·         Perencanaan-proyek-proyek pemberdayaan masyarakat (community empowerment)

KEMISKINAN DI KOTA SEMARANG
Daerah padat penduduk seperti di Jawa Tengah, Daerah Istemewa Yogyakarta, Jawa Timur, dan Jawa Barat termasuk yang angka kemiskinannya tinggi. Karena jumlah penduduknya padat maka secara absolut jumlah penduduk miskinnya juga tinggi. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2005 ini, 62 juta jiwa dan di Jawa Tengah, 3,17 Juta keluarga dinyatakan miskin. Jumlah penduduk miskin yang ada di Kota Semarang pada tahun 2004 berjumlah 79 ribu jiwa.

{ 2 komentar... read them below or Comment }

  1. selamat siang...kira-kira di buku apa saya bisa menemukan teori-teori kemiskinan di atas ? Terima kasih

    BalasHapus

Welcome to My Blog

Blogger templates

follow me on twitter

Pengunjung

Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © 2013 Bayu Alfian -Dark Amaterasu Template- Design by YONDARKNESS -Original by Blog Johanes-