Archive for Juli 2011
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sanitasi merupakan salah satu komponen dari kesehatan lingkungan, yaitu perilaku yang disengaja untuk membudayakan hidup bersih untuk mencegah manusia bersentuh langsung dengan kotoran dan bahan buangan berbahaya lainnya, dengan harapan dapat menjaga dan meningkatkan kesehatan manusia.
Dalam penerapannya dimasyarakat, sanitasi meliputi penyediaan air, pengolaan limbah, pengolaan sampah, control vector, pencegahan dan pengontrolan pencemaran tanah, sanitasi makanan, serta pencemaran udara.
Kesehatan lingkungan di Indonesia masih memprihatinkan. Belum optimalnya sanitasi di Indonesia ini ditandai dengan masih tingginya angka kejadian penyakit infeksi dan penyakit menular di masyarakat. Pada saat negara lain pola penyakit sudah bergeser menjadi penyakit degeneratif, Indonesia masih direpotkan oleh kasus demam berdarah, Diare, Kusta, serta Hepatitis A yang seakan tidak ada habisnya.
Kondisi sanitasi di Indonesia memang tertinggal cukup jauh dari Negara-negara tetangga. Dengan Vietnam saja Indonesia hampir disalip, apalagi dibandingkan dengan Malaysia atau Singapura yang memiliki komitmen tinggi terhadap kesehatan lingkungan di negaranya. Jakarta hanya menduduki posisi nomor 2 dari bawah setelah Laos dalam pencapaian cakupan sanitasinya.
Sanitasi sangat menentukan keberhasilan dari paradigma pembangunan kesehatan lingkungan lima tahun ke depan yang lebih menekankan pada aspek pencegahan dari aspek pengobatan. Dengan adanya upaya pencegahan yang baik, angka kejadian penyakit yang terkait dengan kondisi lingkungan dapat di cegah. Selain itu anggaran yang diperlukan untuk preventif juga relative lebih terjangkau daripada melakukan upaya pengobatan.
B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan pengertian, sumber, bentuk dari sampah!
2. Jelaskan pengertian dan permasalahan drainase perkotaan!
3. Kemukakan secara terperinci tentang limbah!
4. Jelakan akibat dari penyalahgunaan dan pencemaran air!
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sampah
Sampah merupakan material sisa yang tidak diinginkan setelah berakhirnya suatu proses. Sampah merupakan didefinisikan oleh manusia menurut derajat keterpakaiannya, dalam proses-proses alam sebenarnya tidak ada konsep sampah, yang ada hanya produk-produk yang dihasilkan setelah dan selama proses alam tersebut berlangsung.Akan tetapi karena dalam kehidupan manusia didefinisikan konsep lingkungan maka Sampah dapat dibagi menurut jenis-jenisnya.
1. Berdasarkan Sumbernya
- Sampah alam
- Sampah manusia
- Sampah konsumsi
- Sampah nuklir
- Sampah industri
- Sampah pertambangan
2. Berdasarkan Bentuknya
a. Sampah Padat
Sampah padat adalah segala bahan buangan selain kotoran manusia, urine dan sampah cair. Dapat berupa sampah rumah tangga: sampah dapur, sampah kebun, plastik, metal, gelas dan lain-lain. Menurut bahannya sampah ini dikelompokkan menjadi sampah organik dan sampah anorganik. Sampah organik Merupakan sampah yang berasal dari barang yang mengandung bahan-bahan organik, seperti sisa-sisa sayuran, hewan, kertas, potongan-potongan kayu dari peralatan rumah tangga, potongan-potongan ranting, rumput pada waktu pembersihan kebun dan sebagainya.
Berdasarkan kemampuan diurai oleh alam (biodegradability), maka dapat dibagi lagi menjadi:
- Biodegradable: yaitu sampah yang dapat diuraikan secara sempurna oleh proses biologi baik aerob atau anaerob, seperti: sampah dapur, sisa-sisa hewan, sampah pertanian dan perkebunan.
- Non-biodegradable: yaitu sampah yang tidak bisa diuraikan oleh proses biologi. Dapat dibagi lagi menjadi:
- Recyclable: sampah yang dapat diolah dan digunakan kembali karena memiliki nilai secara ekonomi seperti plastik, kertas, pakaian dan lain-lain.
- Non-recyclable: sampah yang tidak memiliki nilai ekonomi dan tidak dapat diolah atau diubah kembali seperti tetra packs, carbon paper, thermo coal dan lain-lain.
- Sampah Cair
- Sampah cair adalah bahan cairan yang telah digunakan dan tidak diperlukan kembali dan Limbah hitam: sampah cair yang dihasilkan dari toilet. Sampah ini mengandung patogen yang berbahaya.
- Limbah rumah tangga: sampah cair yang dihasilkan dari dapur, kamar mandi dan tempat cucian. Sampah ini mungkin mengandung patogen.
Sampah dapat berada pada setiap fase materi: padat, cair, atau gas. Ketika dilepaskan dalam dua fase yang disebutkan terakhir, terutama gas, sampah dapat dikatakan sebagai emisi. Emisi biasa dikaitkan dengan polusi.
Dalam kehidupan manusia, sampah dalam jumlah besar datang dari aktivitas industri (dikenal juga dengan sebutan limbah), misalnya pertambangan, manufaktur, dan konsumsi. Hampir semua produk industri akan menjadi sampah pada suatu waktu, dengan jumlah sampah yang kira-kira mirip dengan jumlah konsumsi.
untuk mencegah sampah cair adalah pabrik pabrik tidak membuang limbah sembarangan misalnya membuang ke selokan.
- Sampah Alam
Sampah yang diproduksi di kehidupan liar diintegrasikan melalui proses daur ulang alami, seperti halnya daun-daun kering di hutan yang terurai menjadi tanah. Di luar kehidupan liar, sampah-sampah ini dapat menjadi masalah, misalnya daun-daun kering di lingkungan pemukiman.
- Sampah Manusia
Sampah manusia (Inggris: human waste) adalah istilah yang biasa digunakan terhadap hasil-hasil pencernaan manusia, seperti feses dan urin. Sampah manusia dapat menjadi bahaya serius bagi kesehatan karena dapat digunakan sebagai vektor (sarana perkembangan) penyakit yang disebabkan virus dan bakteri. Salah satu perkembangan utama pada dialektika manusia adalah pengurangan penularan penyakit melalui sampah manusia dengan cara hidup yang higienis dan sanitasi. Termasuk didalamnya adalah perkembangan teori penyaluran pipa (plumbing). Sampah manusia dapat dikurangi dan dipakai ulang misalnya melalui sistem urinoir tanpa air.
2 Pengolahannya
Pengelolaan sampah adalah pengumpulan , pengangkutan , pemrosesan , pendaur-ulangan , atau pembuangan dari material sampah. Kalimat ini biasanya mengacu pada material sampah yg dihasilkan dari kegiatan manusia, dan biasanya dikelola untuk mengurangi dampaknya terhadap kesehatan, lingkungan atau keindahan. Pengelolaan sampah juga dilakukan untuk memulihkan sumber daya alam . Pengelolaan sampah bisa melibatkan zat padat , cair , gas , atau radioaktif dengan metoda dan keahlian khusus untuk masing masing jenis zat.
Praktek pengelolaan sampah berbeda beda antara Negara maju dan negara berkembang , berbeda juga antara daerah perkotaan dengan daerah pedesaan , berbeda juga antara daerah perumahan dengan daerah industri. Pengelolaan sampah yg tidak berbahaya dari
pemukiman dan institusi di area metropolitan biasanya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, sedangkan untuk sampah dari area komersial dan industri biasanya ditangani oleh perusahaan pengolahan sampah
Metode pengelolaan sampah berbeda beda tergantung banyak hal , diantaranya tipe zat sampah , tanah yg digunakan untuk mengolah dan ketersediaan area.
B. Drainase Perkotaan
Drainase adalah lengkungan atau saluran air di permukaan atau di bawah tanah, baik yang terbentuk secara alami maupun dibuat oleh manusia. Dalam bahasa Indonesia, drainase bisa merujuk pada parit di permukaan tanah atau gorong-gorong di bawah tanah. Drainase berperan penting untuk mengatur suplai air demi pencegahan banjir.
Permasalahan Drainase :
1 Peningkatan Debit
Manajemen sampah yang kurang baik memberi kontribusi percepatan pendangkalan/penyempitan saluran dan sungai. Kapasitas sungai dan saluran drainase menjadi berkurang, sehingga tidak mampu menampung debit yang terjadi, air meluap dan terjadilah genangan.
2 Peningkatan Jumlah Penduduk
Meningkatnya jumlah penduduk perkotaan yang sangat cepat, akibat dari pertumbuhan maupun urbanisasi. Peningkayan jumlah penduduk selalu diikuti oleh penambahn infrastruktur perkotaan, disamping itu peningkatn penduduk juga selalu diikuti oleh peningkatan limbah, baik limbah cair maupun pada sampah.
3 Amblesan Tanah
Disebabkan oleh pengambilan air tanah yang berlebihan, mengakibatkan beberapa bagian kota berada dibawah muka air laut pasang.
4 Penyempitan dan Pendangkalan Saluran
5 Reklamasi
C. Limbah
Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik industri maupun domestik (rumah tangga). Dimana masyarakat bermukim, disanalah berbagai jenis limbah akan dihasilkan. Ada sampah, ada air kakus (black water), dan ada air buangan dari berbagai aktivitas domestik lainnya (grey water).
Limbah padat lebih dikenal sebagai sampah, yang seringkali tidak dikehendaki kehadirannya karena tidak memiliki nilai ekonomis. Bila ditinjau secara kimiawi, limbah ini terdiri dari bahan kimia Senyawa organik dan Senyawa anorganik. Dengan konsentrasi dan kuantitas tertentu, kehadiran limbah dapat berdampak negatif terhadap lingkungan terutama bagi kesehatan manusia, sehingga perlu dilakukan penanganan terhadap limbah
Pengolahan Limbah
Beberapa faktor yang memengaruhi kualitas limbah adalah volume limbah, kandungan bahan pencemar, dan frekuensi pembuangan limbah. Untuk mengatasi limbah ini diperlukan pengolahan dan penanganan limbah. Pada dasarnya pengolahan limbah ini dapat dibedakan menjadi:
1. pengolahan menurut tingkatan perlakuan
2. pengolahan menurut karakteristik limbah
Untuk mengatasi berbagai limbah dan air limpasan (hujan), maka suatu kawasan permukiman membutuhkan berbagai jenis layanan sanitasi. Layanan sanitasi ini tidak dapat selalu diartikan sebagai bentuk jasa layanan yang disediakan pihak lain. Ada juga layanan sanitasi yang harus disediakan sendiri oleh masyarakat, khususnya pemilik atau penghuni rumah, seperti jamban misalnya.
1. Layanan air limbah domestik: pelayanan sanitasi untuk menangani limbah Air kakus.
2. Jamban yang layak harus memiliki akses air besrsih yang cukup dan tersambung ke unit penanganan air kakus yang benar. Apabila jamban pribadi tidak ada, maka masyarakat perlu memiliki akses ke jamban bersama atau MCK.
3. Layanan persampahan. Layanan ini diawali dengan pewadahan sampah dan pengumpulan sampah. Pengumpulan dilakukan dengan menggunakan gerobak atau truk sampah. Layanan sampah juga harus dilengkapi dengan tempat pembuangan sementara (TPS), tempat pembuangan akhir (TPA), atau fasilitas pengolahan sampah lainnya. Dibeberapa wilayah pemukiman, layanan untuk mengatasi sampah dikembangkan secara kolektif oleh masyarakat. Beberapa ada yang melakukan upaya kolektif lebih lanjut dengan memasukkan upaya pengkomposan dan pengumpulan bahan layak daur-ulang.
4. Layanan drainase lingkungan adalah penanganan limpasan air hujan menggunakan saluran drainase (selokan) yang akan menampung limpasan air tersebut dan mengalirkannya ke badan air penerima. Dimensi saluran drainase harus cukup besar agar dapat menampung limpasan air hujan dari wilayah yang dilayaninya. Saluran drainase harus memiliki kemiringan yang cukup dan terbebas dari sampah.
5. Penyediaan air bersih dalam sebuah pemukiman perlu tersedia secara berkelanjutan dalam jumlah yang cukup. Air bersih ini tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan makan, minum, mandi, dan kakus saja, melainkan juga untuk kebutuhan cuci dan pembersihan lingkungan.
Karakteristik Limbah
1. Berukuran mikro
2. Dinamis
3. Berdampak luas (penyebarannya)
4. Berdampak jangka panjang (antar generasi)
Limbah Industri
Berdasarkan karakteristiknya limbah industri dapat dibagi menjadi empat bagian :
1. Limbah cair biasanya dikenal sebagai entitas pencemar air. Komponen pencemaran air pada umumnya terdiri dari bahan buangan padat, bahan buangan organik, dan bahan buangan anorganik.
2. Limbah padat
Proses Pencemaran Udara Semua spesies kimia yang dimasukkan atau masuk ke atmosfer yang “bersih” disebut kontaminan. Kontaminan pada konsentrasi yang cukup tinggi dapat mengakibatkan efek negatif terhadap penerima (receptor), bila ini terjadi, kontaminan disebut cemaran (pollutant).Cemaran udara diklasifihasikan menjadi 2 kategori menurut cara cemaran masuk atau dimasukkan ke atmosfer yaitu: cemaran primer dan cemaran sekunder. Cemaran primer adalah cemaran yang diemisikan secara langsung dari sumber cemaran. Cemaran sekunder adalah cemaran yang terbentuk oleh proses kimia di atmosfer.
Sumber cemaran dari aktivitas manusia (antropogenik) adalah setiap kendaraan bermotor, fasilitas, pabrik, instalasi atau aktivitas yang mengemisikan cemaran udara primer ke atmosfer. Ada 2 kategori sumber antropogenik yaitu: sumber tetap (stationery source) seperti: pembangkit energi listrik dengan bakar fosil, pabrik, rumah tangga,jasa, dan lain-lain dan sumber bergerak (mobile source) seperti: truk,bus, pesawat terbang, dan kereta api.
Secara umum yang disebut limbah adalah bahan sisa yang dihasilkan dari suatu kegiatan dan proses produksi, baik pada skala rumah tangga, industri, pertambangan, dan sebagainya. Bentuk limbah tersebut dapat berupa gas dan debu, cair atau padat. Di antara berbagai jenis limbah ini ada yang bersifat beracun atau berbahaya dan dikenal sebagai limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Limbah B3).
Suatu limbah digolongkan sebagai limbah B3 bila mengandung bahan berbahaya atau beracun yang sifat dan konsentrasinya, baik langsung maupun tidak langsung, dapat merusak atau mencemarkan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan manusia.Yang termasuk limbah B3 antara lain adalah bahan baku yang berbahaya dan beracun yang tidak digunakan lagi karena rusak, sisa kemasan, tumpahan, sisa proses, dan oli bekas kapal yang memerlukan penanganan dan pengolahan khusus. Bahan-bahan ini termasuk limbah B3 bila memiliki salah satu atau lebih karakteristik berikut: mudah meledak, mudah terbakar, bersifat reaktif, beracun, menyebabkan infeksi, bersifat korosif, dan lain-lain, yang bila diuji dengan toksikologi dapat diketahui termasuk limbah B3.
Macam Limbah Beracun
- Limbah Mudah Meledak
- Limbah Mudah Terbakar
- Limbah Reaktif
- Limbah Beracun
- Limbah Penyebab Infeksi
D. Penyalahgunaan dan Pencemaran Air
Sumber-sumber air bersih ini biasanya terganggu akibat penggunaan dan penyalahgunaan sumber air seperti:
- Pertanian. Penghamburan air akibat ketiadaannya penyaluran air yang baik pada lahan yang diairi dengan irigasi (untuk penghematan dalam jangka pendek) dapat berakibat terjadinya kubangan dan penggaraman yang akhirnya dapat menyebabkan hilangnya produktivitas air dan tanah
- Industri. Walaupun industri menggunakan air jauh lebih sedikit dibandingkan dengan irigasi pertanian, namun penggunaan air oleh bidang industri mungkin membawa dampaknya yang lebih parah dipandang dari dua segi. Pertama, penggunaan air bagi industri sering tidak diatur dalam kebijakan sumber daya air nasional, maka cenderung berlebihan. Kedua, pembuangan limbah industri yang tidak diolah dapat menyebabkan pencemaran bagi air permukaan atau air bawah tanah, seihingga menjadi terlalu berbahaya untuk dikonsumsi. Air buangan industri sering dibuang langsung ke sungai dan saluran-saluran, mencemarinya, dan pada akhirnya juga mencemari lingkungan laut, atau kadang-kadang buangan tersebut dibiarkan saja meresap ke dalam sumber air tanah tanpa melalui proses pengolahan apapun. Kerusakan yang diakibatkan oleh buangan ini sudah melewati proporsi volumenya. Banyak bahan kimia modern begitu kuat sehingga sedikit kontaminasi saja sudah cukup membuat air dalam volume yang sangat besar tidak dapat digunakan untuk minum tanpa proses pengolahan khusus.
- Eksploitasi sumber-sumber air secara masal oleh rumah tangga.
* Di negara berkembang: Di beberapa tempat di negara bagian Tamil Nadu di India bagian selatan yang tidak memiliki hukum yang mengatur pemasangan penyedotan sumur pipa atau yang membatasi penyedotan air tanah, permukaan air tanah anjlok 24 hingga 30 meter selama tahun 1970-an sebagai akibat dari tak terkendalikannya pemompaan atau pengairan. Pada sebuah konferensi air di tahun 2006 wakil dari suatu negara yang kering melaporkan bahwa 240.000 sumur pribadi yang dibor tanpa mengindahkan kapasitas jaringan sumber air mengakibatkan kekeringan dan peningkatan kadar garam.
* Di negara maju seperti Amerika Serikat seperlima dari seluruh tanah irigasi di AS tergantung hanya pada jaringan sumber air (Aquifer) Agallala yang hampir tak pernah menerima pasok secara alami. Selama 4 dasawarsa terakhir terhitung dari tahun 2006, sistem jaringan yang tergantung pada sumber ini meluas dari 2 juta hektar menjadi 8 juta, dan kira-kira 500 kilometer kubik air telah tersedot. Jaringan sumber ini sekarang sudah setengah kering kerontang di bawah sejumlah negara bagian. Sumber-sumber air juga mengalami kemerosotan mutu, di samping pencemaran dari limbah industri dan limbah perkotaan yang tidak diolah, seperti pengotoran berat dari sisa-sisa dari lahan pertanian. Misalnya, di bagian barat AS, sungai Colorado bagian bawah sekarang ini demikian tinggi kadar garamnya sebagai akibat dari dampak arus balik irigasi sehingga di Meksiko sudah tidak bermanfaat lagi, dan sekarang AS terpaksa membangun suatu proyek besar untuk memurnikan air garam di Yuma, Arizona, guna meningkatkan mutu sungainya. Situasi di wilayah perkotaan jauh lebih jelek daripada di daerah sumber dimana rumah tangga yang terlayani terpaksa merawat WC dengan cara seadanya karena langkanya air, dan tanki septik membludak karena layanan pengurasan tidak dapat diandalkan, atau hanya dengan menggunakan cara-cara lain yang sama-sama tidak tuntas dan tidak sehat. Hal ini tidak saja mengakibatkan masalah bagi penggunanya sendiri, tetap juga sering berbahaya terhadap orang lain dan merupakan ancaman bagi lingkungan karena limbah mereka lepas tanpa proses pengolahan.
Ketiadaan air bersih mengakibatkan:
Penyakit diare. Di Indonesia diare merupakan penyebab kematian kedua terbesar bagi anak-anak dibawah umur lima tahun. Sebanyak 13 juta anak-anak balita mengalami diare setiap tahun. Air yang terkontaminasi dan pengetahuan yang kurang tentang budaya hidup bersih ditenggarai menjadi akar permasalahan ini. Sementara itu 100 juta rakyat Indonesia tidak memiliki akses air bersih
Tugas : Individu
Makalah : Pengantar Ekonomi Wilayah dan Kota
DAFTAR ISI
Sampul
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
BAB II PEMBAHASAN
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
1. Masalah perkembangan ekonomi yang dihadapi kabupaten Bone
2. Perkembangan Ekonomi Kabupaten Bone
3. Sektor Ekonomi Kabuparten Bone
2. Perkembangan Ekonomi Kabupaten Bone
a. Pertanian
Makalah : Pengantar Ekonomi Wilayah dan Kota
BAYU ALFIAN
60800110019
TEKNIK PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2011
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis penjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Perkembangan Ekonomi di Kabupaten Bone”.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan penelitian ini, khususnya kepada :
- Bapak pembimbing mata kuliah pengantar Ekonomi Wilayah dan Kota
- Rekan-rekan semua di jurusan Teknik PWK UIN Alauddin
- Secara khusus penulis menyampaikan terima kasih kepada keluarga tercinta yang telah memberikan dorongan dan bantuan serta pengertian yang besar kepada penulis, baik selama mengikuti perkuliahan maupun dalam menyelesaikan makalah ini
- Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan dalam penulisan makalah ini.
Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Akhirnya penulis berharap semoga Allah memberikan imbalan yang setimpal pada mereka yang telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai ibadah, Amiin Yaa Rabbal ‘Alamiin
Sungguminasa 25 April 2011
Penulis
DAFTAR ISI
Sampul
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
BAB II PEMBAHASAN
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar BelakangSetiap daerah di Indonesia sudah lama menjadikan perkembangan ekonomi sebagai target ekonomi. Perkembangan ekonomi selalu menjadi factor yang paling penting dalam keberhasilan perekonomian suatu daerah untuk jangka panjang. Perkembangan ekonomi sangat dibutuhkan dan dianggap sebagai sumber peningkatan standard hidup (standard of living) penduduk yang jumlahnya terus meningkat.
Istilah perkembangan ekonomi sering dicampurbaurkan dengan pertumbuhan ekonomi, dan pemakaiannnya selalu berganti-ganti, sehingga kelihatan pengertian antara keduanya dianggap sama. Akan tetapi beberapa ahli ekonomi, seperti Schumpeter (1911) dan Ursula Hicks (1957) telah menarik perbedaan yang lazim antara istilah perkembangan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi (jhingan, 1993). Menurut kedua pakar tersebut perkembangan ekonomi mengacu kepada masalah-masalah Negara terbelakang, sedangkan pertumbuhan ekonomi mengacu kepada masalah-masalah Negara maju. Demikian juga menurut Maddison (1970), ia mengatakan bahwa di Negara-negara maju kenaikan dalam tingkat pendapatan biasanya disebut pertumbuhan ekonomi, sedang di Negara miskin ia disebut perkembangan ekonomi. Namun ada juga pakar ekonomi lainnya yang beranggapan bahwa antara pertumbuhan ekonomi dengan perkembangan ekonomi merupakan sinonim, misalnya pendapat dari Arthur Lewis (1954), serta Meir dan Baldwin (1973)
Selama hampir setengah abad, perhatian utama masyarakat perekonomian dunia tertuju pada cara-cara untuk mempercepat tingkat perkembangan pendapatan nasional. Para ekonom dan politisi dari semua daerah, baik daerah-daerah maju maupun terbelakang, yang menganut sistem kapitalis, sosialis maupun campuran, semuanya sangat mendambakan dan menomorsatukan perkembangan ekonomi (economic growth). Pada setiap akhir tahun, masing-masing daerah selalu mengumpulkan data-data statistiknya yang berkenaan dengan tingkat perkembangan GNP relatifnya, dan dengan penuh harap mereka menantikan munculnya angka-angka pertumbuhan yang membesarkan hati. “Pengejaran pertumbuhan” merupakan tema sentral dalam kehidupan ekonomi semua daerah di Indonesia dewasa ini. Seperti kita telah ketahui, berhasil-tidaknya program-program pembangunan di daerah-daerah sering dinilai berdasarkan tinggi-rendahnya tingkat perkembangan output dan pendapatan nasional.
Mengingat konsep perkembangan ekonomi sebagai tolok ukur penilaian perkembangan ekonomi nasional sudah terlanjur diyakini serta diterapkan secara luas, maka kita tidak boleh ketinggalan dan mau tidak mau juga harus berusaha mempelajari hakekat dan sumber-sumber perkembangan ekonomi tersebut. Pertumbuhan dan pembangunan ekonomi memiliki definisi yang berbeda, yaitu pertumbuhan ekonomi ialah proses kenaikan output per kapita yang terus menerus dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi tersebut merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan. Dengan demikian makin tingginya pertumbuhan ekonomi biasanya makin tinggi pula kesejahteraan masyarakat, meskipun terdapat indikator yang lain yaitu distribusi pendapatan. Sedangkan pembangunan ekonomi ialah usaha meningkatkan pendapatan per kapita dengan jalan mengolah kekuatan ekonomi potensial menjadi ekonomi riil melalui penanaman modal, penggunaan teknologi, penambahan pengetahuan, peningkatan ketrampilan, penambahan kemampuan berorganisasi dan manajemen.
B. Rumusan Masalah1. Masalah perkembangan ekonomi yang dihadapi kabupaten Bone
2. Perkembangan Ekonomi Kabupaten Bone
3. Sektor Ekonomi Kabuparten Bone
BAB II
PEMBAHASAN
1. Masalah Perkembangan Ekonomi yang di Hadapi Kabupaten BonePermasalahan ekonomi saat ini adalah masih terbatasnya akselerasi sektor riil dalam mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi di daerah. Untuk mengatasi permasalahan tersebut diperlukan fasilitasi, mediasi, dan regulasi bisnis yang dapat memberdayakan ekonomi masyarakat serta membuka akses bagi peningkatan dan pemupukan modal utamanya ditingkat usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), guna memperbaiki kualitas pertumbuhan ekonomi dan menopang pertumbuhan pasar domistik, pengembangan bisnis dan sektor riil yang berkelanjutan yang pada akhirnya mampu menciptakan lapangan pekerjaan baru dan tentunya bermuara pada peningkatan kualitas hidup atau kesejahteraan masyarakat.
Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan upaya-upaya strategi diantaranya melakukan penciptaan bisnis melalui proses fasilitas, mediasi dan regulasi pembinaan kepada pelaku usaha produktif di suatu wilayah ataupun di sektor tertentu yang selama ini berpotensi namun belum dikembangkan secara baik. Proses fasilitasi pembinaan tersebut diberikan seiring dengan penyaluran kredit UMKM produktif, dalam bentuk modal kerja atau investasi. Pembinaan kepada para pelaku usaha produktif tidak dapat terlepas dari fungsi dan peran pemerintah utamanya pemerintah kabupaten dan kota, sehingga diperlukan suatu sinergi melalui suatu kerjasama dan koordinasi dalam pengembangan sector riil dan pemberdayaan UMKM.
Berdasarkan pertimbangan di atas, maka Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan bekerjasama dengan Badan Musyawarah Perbankan Daerah Sulsel memandang perlu mendorong percepatan sektor riil di Sulawesi Selatan melalui pelaksanaan ekspo perbankan. Kegiatan ekspo bank telah dicanangkan oleh Bapak Wakil Presiden RI pada tanggal 9 Agustus 2008 di Kabupaten Barru, dan dilanjutkan pelaksanaannya diseluruh kabupaten/kota termasuk di Kabupaten Bone.
Nilai PDRB tahun 2008 atas dasar harga berlaku adalah Rp. 5.348.744,99 juta jika dibandingkan tahun sebelumnya sebesar Rp. 4,423,743,58 juta, terjadi peningkatan sebesar 17,29%.
Rata- rata perkembangan ekonomi Kabupaten Bone tahun (2005-2008) 14,43%/tahun. Nilai PDRB tahun 2008 atas dasar harga berlaku adalah Rp. 5.348.744,99 Juta jika dibandingkan tahun sebelumnya sebesar Rp. 4.423.743,58 Juta terjadi peningkatan sebesar 17,29%. Perkembangan perekonomian dipengaruhi oleh kenaikan harga secara umun dengan kata lain dampak inflasi mempengaruhi perkembangan ekonomi namun pengaruhnya di Kabupaten Bone tidak begitu besar dan tidak mengganggu laju perekonomian secara umum.
Perkembangan Ekonomi mengalami peningkatan setiap tahunnya, perkembangan yang cukup signifikan dari tahun 2005 hingga tahun 2008 yaitu 11,72% pada tahun 2005, 16,02% pada tahun 2006, 12,72% pada tahun 2007 dan 17,29% pada tahun 2008.
Kondisi perekonomian Kabupaten Bone terlihat dari gambaran PDRB (Harga Konstan) Tahun 2005 sebesar Rp. 2.305.158.940.000,- menjadi Rp. 2.442.413.220.000,- pada Tahun 2006 atau terjadi pertumbuhan sebesar 5,95%. Walaupun pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bone agak lamban dibanding Propinsi Sulawesi Selatan yakni 6,72%, akan tetapi pertumbuhan tersebut memberikan pengaruh positif terhadap peningkatan pendapatan perkapita selama kurun waktu yang sama, yaitu dari Rp. 4.792.832,- pada tahun 2005 menjadi Rp. 5.541.502,2.- pada tahun 2006
Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bone tersebut, disamping memberikan implikasi positif terhadap pembukaan lapangan kerja, juga masih menyisahkan pengangguran. Dalam Tahun 2004, jumlah angkatan kerja sebanyak 258.926 orang dan yang mampu diserap berjumlah 249.121 orang. Demikian halnya pada Tahun 2005, angkatan kerja tersedia sejumlah 291.633 orang yang terserap sekitar 274.758 orang, sehingga pada tahun yang sama masih terdapat pengangguran sekitar 16.875 orang
Kondisi perekonomian Kabupaten Bone terlihat dari gambaran PDRB (Harga Konstan) Tahun 2005 sebesar Rp. 2.305.158.940.000,- menjadi Rp. 2.442.413.220.000,- pada Tahun 2006 atau terjadi pertumbuhan sebesar 5,95%. Walaupun pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bone agak lamban dibanding Propinsi Sulawesi Selatan yakni 6,72%, akan tetapi pertumbuhan tersebut memberikan pengaruh positif terhadap peningkatan pendapatan perkapita selama kurun waktu yang sama, yaitu dari Rp. 4.792.832,- pada tahun 2005 menjadi Rp. 5.541.502,2.- pada tahun 2006
Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bone tersebut, disamping memberikan implikasi positif terhadap pembukaan lapangan kerja, juga masih menyisahkan pengangguran. Dalam Tahun 2004, jumlah angkatan kerja sebanyak 258.926 orang dan yang mampu diserap berjumlah 249.121 orang. Demikian halnya pada Tahun 2005, angkatan kerja tersedia sejumlah 291.633 orang yang terserap sekitar 274.758 orang, sehingga pada tahun yang sama masih terdapat pengangguran sekitar 16.875 orang.
3. Sektor Ekonomi Kabupaten Bonea. Pertanian
Bila dilihat dari kontribusinya terhadap PDRB, bidang pertanian menyumbang sebesar 56,17 % , hingga saat ini pertanian memang masih paling besar andilnya terhadap pendapatan daerah.
Data lima tahun terakhir menunjukkan bahwa luas panen tanaman pangan dan hortikultura tetap didominasi oleh padi, pada tahun 2007 seluas 117.787 ha dengan produksi sebesar 697.299 Ton, sedangkan yang lainnya antara lain jagung 38.872 ha dengan produksi sebesar 149.657 ton, kedelai 4.484 ha dengan produksi mencapai 8.026 ton , ubi kayu 663 ha produksinya 7.704 ton,ubi jalar 321 ha dengan produksi 2.716 ton, kacang tanah 12.846 ha dengan produksi 24.022 ton.
Produktivitas perkomoditasnya masih belum mencapai hasil yang optimal, oleh sebab itu,masih perlu didukung adanya pembinaan dan penyuluhan di tingkat petani serta usaha perkuatan kelembagaan dalam menghasilkan benih bermutu, institusi pengendali hama/penyakit, dukungan alat mesin pertanian dan distribusi pupuk memadai.
b. PeternakanPembangunan peternakan merupakan bagian dari pembangunan pertanian, yang peranannya dalam penyediaan pangan khususnya protein hewani terus ditingkatkan untuk mewujudkan swasembada ternak dan peningkatan pendapatan masyarakat. Dalam kurun waktu 2002 -2005 populasi ternak mengalami peningkatan yang cukup besar terutama Sapi Bali, kemudian kambing, kuda dan kerbau. Sedangkan yang mengalami penurunan populasi adalah ayam terutama ayam ras petelur. Hal ini disebabkan karena menurunnya minat masyarakat untuk beternak ayam karena wabah flu burung.
Untuk mendukung kesehatan produk peternakan terutama agar kesehatan masyarakat menjadi semakin baik sehingga penyediaan produk aman, sehat, utuh dan halal maka didukung adanya fasilitas lokasi pemotongan berupa Rumah Potong Hewan (RPH), pembinaan terhadap peternak, pemberian vaksin ternak dan unggas.
c. Kehutanan dan PerkebunanJenis tanaman perkebunan di Kabupaten Bone antara lain : kelapa seluas 14.760 ha dengan produksi 11.675 ton, coklat seluas 37.178 ha dengan produksi 12.870 ton, cengkeh 3.106 ha dengan produksi 2.087 ton, jambu mente 6.242 ha dengan produksi 2.863, kopi 934 ha dengan produksi 247 to, tembakau 941 ha dengan produksi 863 ton.
Secara kuantitas produksi perkebunan memang telah mengalami peningkatan tapi belum mencapai hasil yang optimal, demikian pula halnya dengan kualitas produksi masih perlu terus ditingkatkan agar dapat mencapai standar kualitas ekspor.
Sejalan pelaksanaan otonomi daerah dengan azas desentralisasi, paradigma pembangunan kehutanan di Kabupaten Bone adalah domestic resources based (community and resource based development), yaitu (1) menetapkan sumber daya hutan dalam tiga sisi manfaat yang seimbang yakni ekonomi, ekologi dan sosial; dan (2) memfasilitasi dan mendorong terciptanya pemberdayaan ekonomi kerakyatan dengan memberi peluang yang luas kepada lembaga usaha masyarakat kecil dan menengah yang berbasis hutan dalam menuju pengelolaan hutan yang lestari, demokratis dan berkeadilan. Pembangunan usaha perkebunan rakyat dilakukan dengan cara memfasilitasi dan mendorong berkembangnya agribisnis perkebunan yang berdayasaing melalui pemberdayaan masyarakat.
d. Perikanan dan kelautanSumber daya perikanan di Kabupaten Bone cukup besar karena wilayah pesisir yang membentang dari utara ke selatan sepanjang 127 km, sangat potensial untuk pengembangan tambak dan rumput laut. Potensi luas areal pemeliharaan 17.214 ha dan 11.001 ha diantaranya telah dikelola yaitu tambak seluas 10.790 ha dan kolam 211 ha. Komoditi ekspor perikanan yang menjadi unggulan adalah kepiting dan udang, namun beberapa tahun terakhir mengalami penurunan produksi yang cukup signifikan hingga mencapai 42 %, penyebab menurunnya produksi yaitu pemanfaatan sumber daya ikan tidak rasional, penerapan teknik produksi belum maksimal, kegiatan produksi dilakukan dalam skala kecil dan sifatnya perorangan, selain itu pembinaan dari petugas kurang. Produksi perikanan laut mengalami peningkatan rata- rata sebesar 16,8 %, jenis komoditi seperti rumput laut, ikan tuna, ikan kerapu, lobster, kepiting rajungan, merupakan komoditi ekspor yang sangat menjanjikan karena pangsa pasarnya masih cukup bagus.
e. PariwisataKeindahan alam dan kekayaan budaya Kabupaten Bone merupakan potensi pariwisata yang pengembangannya diarahkan pada upaya menyiapkan Kab.Bone sebagai daerah tujuan wisata. Salah satu Objek wisata yang telah dikembangkan yaitu Tanjung Palette, dengan adanya objek wisata tersebut diharapkan arus kunjungan wisatawan ke Kabupaten Bone mengalami pertumbuhan yang cukup bagus dengan meningkatnya jumlah wisatawan yang berkunjung.
Langkah-langkah untuk memperbaiki kondisi yang ada terus dilakukan melalui pembinaan usaha jasa pariwisata, peningkatan SDM pelaku pariwisata dan promosi pariwisata dengan harapan Kabupaten Bone akan lebih siap sebagai daerah tujuan wisata.
BAB III
PENUTUP
A. KesimpulanIstilah perkembangan ekonomi sering dicampurbaurkan dengan pertumbuhan ekonomi, dan pemakaiannnya selalu berganti-ganti, sehingga kelihatan pengertian antara keduanya dianggap sama. Akan tetapi beberapa ahli ekonomi, seperti Schumpeter (1911) dan Ursula Hicks (1957) telah menarik perbedaan yang lazim antara istilah perkembangan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi (jhingan, 1993). Menurut kedua pakar tersebut perkembangan ekonomi mengacu kepada masalah-masalah Negara terbelakang, sedangkan pertumbuhan ekonomi mengacu kepada masalah-masalah Negara maju. Demikian juga menurut Maddison (1970), ia mengatakan bahwa di Negara-negara maju kenaikan dalam tingkat pendapatan biasanya disebut pertumbuhan ekonomi, sedang di Negara miskin ia disebut perkembangan ekonomi. Namun ada juga pakar ekonomi lainnya yang beranggapan bahwa antara pertumbuhan ekonomi dengan perkembangan ekonomi merupakan sinonim, misalnya pendapat dari Arthur Lewis (1954), serta Meir dan Baldwin (1973)
B. SaranSaya selaku penulis menyarankan bahwa setelah membaca makalah ini diharapkan agar pembaca dapat mengetahui dan memahami masalah perkembangan ekonomi yang dihadapi kabupaten Bone.
MANURUNGNGE RIMATAJANG MATASILOMPOE (1330 - 1365)
LA UMMASA PETTA PANRE BESSIE (1365 - 1368)
LA SALIU KERANG PELUA (1368 - 1470)
WE BENRIGAU MALLAJANGNGE RI CINA (1470 - 1510)
LA TENRI SUKKI MAPPAJUNGE (1510 - 1535)
LA ULIO BOTOE MATINROE RI ITTERUNG (1535 - 1560)
LA TENRI RAWE BONGKANGE MATINROE RI GUCINNA (1560 - 1564)
LA ICCA MATINROE RI ADDENENNA (1564 - 1565)
LA PATTAWE MATINROE RI BETTUNG (1565 - 1602)
LA TENRI TUPPU MATINROE RI SIDENRENG (1602 - 1611)
LA TENRI RUWA SULTAN ADAM MATINROE RI BANTAENG (1611 - 1616)
LA TENRI PALE MATINROE RI RI TALLO (1616 - 1631)
LA MADDAREMMENG MATINROE RI BUKAKA (1631 - 1644)
LA TENRI WAJI ARUNG AWANG MATINROE RI SIANG ( PANGKEP) (1644 - 1645)
LA TENRI TATTA DAENG SERANG MALAMPEE GEMMENA ARUNG PALAKKA (1645 - 1696)
LA PATAU MATANNA TIKKA MATINROE RI NAGAULENG (1696 - 1714)
BATARI TOJA SULTAN SAINAB SAKIYATUDDING (1714 - 1715)
LA PADASSAJATI TO APPAWARE SULTAN SULAEMAN PETTA RI JALLOE (1715 - 1718)
LA PAREPPA TO SAPPEWALI SULTAN ISMAIL MATINROE RI SOMBA OPU (1718 - 1721)
LA PANAONGI TO PAWAWOI ARUNG MAMPU KARAENG BISEI (1721 - 1724)
BATARI TOJA DATU TALAGA ARUNG TIMURUNG (1724 - 1749)
LA TEMMASSONGE TO APPAWALI SULTAN ABDUL RAZAK MATINROE RI MALIMONGENG (1749 - 1775)
LA TENRI TAPPU SULTAN ACHMAD SALEH MATINROE RI ROMPEGADING (1775 - 1812)
TO APPATUNRU SULTAN ISMAIL MUHTAJUDDIN MATINROE RI LALENG BATA (1812 - 1823)
I MANI RATU ARUNG DATA SULTAN RAJITUDDIN MATINROE RI KESSI (1823 - 1835)
LA MAPPASELING SULTAN ADAM NAJAMUDDIN MATINROE RI SALASSANA (1835 - 1845)
LA PARENRENGI SULTAN AKHMAD MUHIDDIN ARUNG PUGI MATINROE RI AJANG BENTENG (1845 - 1857)
WE TENRI WARU SULTANAH UMMULHUDA PANCAITANAH, BESSE KAJUARA PELAINGI PASEMPE (1857 - 1860)
ACHMAD SINGKERUKKA SULTAN ACHMAD IDRIS MATINROE RI PACCING (1860 - 1871)
FATIMA BANRI DATU CITTA MATINROE RI BOLAMPARENA (1871 - 1895)
LAWAWOWOI KARAENG SIGERI MATINROE RI BANDUNG (1895 - 1905)
LAMAPPANYUKKI SULTAN IBRAHIM MATINROE RI GOWA (1931 - 1946)
LA UMMASA PETTA PANRE BESSIE (1365 - 1368)
LA SALIU KERANG PELUA (1368 - 1470)
WE BENRIGAU MALLAJANGNGE RI CINA (1470 - 1510)
LA TENRI SUKKI MAPPAJUNGE (1510 - 1535)
LA ULIO BOTOE MATINROE RI ITTERUNG (1535 - 1560)
LA TENRI RAWE BONGKANGE MATINROE RI GUCINNA (1560 - 1564)
LA ICCA MATINROE RI ADDENENNA (1564 - 1565)
LA PATTAWE MATINROE RI BETTUNG (1565 - 1602)
LA TENRI TUPPU MATINROE RI SIDENRENG (1602 - 1611)
LA TENRI RUWA SULTAN ADAM MATINROE RI BANTAENG (1611 - 1616)
LA TENRI PALE MATINROE RI RI TALLO (1616 - 1631)
LA MADDAREMMENG MATINROE RI BUKAKA (1631 - 1644)
LA TENRI WAJI ARUNG AWANG MATINROE RI SIANG ( PANGKEP) (1644 - 1645)
LA TENRI TATTA DAENG SERANG MALAMPEE GEMMENA ARUNG PALAKKA (1645 - 1696)
LA PATAU MATANNA TIKKA MATINROE RI NAGAULENG (1696 - 1714)
BATARI TOJA SULTAN SAINAB SAKIYATUDDING (1714 - 1715)
LA PADASSAJATI TO APPAWARE SULTAN SULAEMAN PETTA RI JALLOE (1715 - 1718)
LA PAREPPA TO SAPPEWALI SULTAN ISMAIL MATINROE RI SOMBA OPU (1718 - 1721)
LA PANAONGI TO PAWAWOI ARUNG MAMPU KARAENG BISEI (1721 - 1724)
BATARI TOJA DATU TALAGA ARUNG TIMURUNG (1724 - 1749)
LA TEMMASSONGE TO APPAWALI SULTAN ABDUL RAZAK MATINROE RI MALIMONGENG (1749 - 1775)
LA TENRI TAPPU SULTAN ACHMAD SALEH MATINROE RI ROMPEGADING (1775 - 1812)
TO APPATUNRU SULTAN ISMAIL MUHTAJUDDIN MATINROE RI LALENG BATA (1812 - 1823)
I MANI RATU ARUNG DATA SULTAN RAJITUDDIN MATINROE RI KESSI (1823 - 1835)
LA MAPPASELING SULTAN ADAM NAJAMUDDIN MATINROE RI SALASSANA (1835 - 1845)
LA PARENRENGI SULTAN AKHMAD MUHIDDIN ARUNG PUGI MATINROE RI AJANG BENTENG (1845 - 1857)
WE TENRI WARU SULTANAH UMMULHUDA PANCAITANAH, BESSE KAJUARA PELAINGI PASEMPE (1857 - 1860)
ACHMAD SINGKERUKKA SULTAN ACHMAD IDRIS MATINROE RI PACCING (1860 - 1871)
FATIMA BANRI DATU CITTA MATINROE RI BOLAMPARENA (1871 - 1895)
LAWAWOWOI KARAENG SIGERI MATINROE RI BANDUNG (1895 - 1905)
LAMAPPANYUKKI SULTAN IBRAHIM MATINROE RI GOWA (1931 - 1946)
Teori Konsentris
Menurut Teori Konsentris (Burgess,1925) DPK atau CBD adalah pusat kota yang letaknya tepat di tengah kota dan berbentuk bundar yang merupakan pusat kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan politik, serta merupakan zona dengan derajat aksesibilitas tinggi dalam suatu kota. DPK atau CBD tersebut terbagi atas dua bagian, yaitu: pertama, bagian paling inti atau RBD (Retail Business District) dengan kegiatan dominan pertokoan, perkantoran dan jasa; kedua, bagian di luarnya atau WBD (Wholesale Business District) yang ditempati oleh bangunan dengan peruntukan kegiatan ekonomi skala besar, seperti pasar, pergudangan (warehouse), dan gedung penyimpanan barang supaya tahan lama (storage buildings).
Model zona konsentrik atau Teori konsentris adalah teori mengenai perencanaan perkotaan yang dikembangkan oleh seorang sosiolog asal Amerika Serikat bernama Ernest Burgess berdasarkan hasil penelitiannya terhadap kota Chicago yang dilakukan pada tahun 1925.Burgess menyimpulkan bahwa wilayah perkotaan dapat dibagi menjadi enam zona
“Model” yang paling terkenal dari area sosial urban ini direncanakan oleh E.W Burgess di tahun 1923 dan telah dikenal sebagai Zona l atau Teori Konsentris. Model ini didasarkan pada konsep bahwa perkembangan sebuah kota terjadi ke arah luar dari area sentralnya, untuk membentuk serangkaian zona-zona konsentris. Zona ini dimulai dengan Central Business District, yang dikelilingi dengan area transisi. Kemudian zona transisi ini dikelilingi oleh zona perumahan pekerja. Lebih jauh dari pusat kota adalah hunian yang lebih luas, ditempati oleh kelompok-kelompok kelas menengah. Terakhir adalah zona komuter yang terletak di luar area built up kota, batas terluarnya merupakan satu jam perjalanan dari pusat kota, dimana sejumlah besar populasi zona ini bekerja. Pada prakteknya, banyak kota-kota menunjukkan sebuah bentuk bintang (star-shaped) daripada konsentris, dengan perkembangan urban didorong untuk terjadi di sepanjang highway (jalan tol) yang menyebar dari pusat kotanya dan tipe berlawanan atau pemanfaatan lahan urban yang ditemukan diantara jalan-jalan utama. Teori ini juga telah dimodifikasi oleh pernyataan bahwa wilayah urban yang identik tidak diharapkan berada dalam zona konsentris, tapi jenis tipe pemanfaatan lahan tersebut cenderung terjadi pada jarak yang sama dari pusat, seringkali dalam bentuk tambal sulam (patches) daripada membentuk ring yang kontinyuKota Multi-Pusat Teori konsentris dan teori sektor memiliki kelebihan dalam kesederhanaannya yang atraktif, tapi situasi dalam kebanyakan kota mungkin terlalu rumit untuk dicakup dalam sebuah generalisasi yang mudah dipahami. Sebagai akibatnya, teori-teori tersebut telah dirancang dengan rumit, memberikan hasil yang lebih mirip dengan realitas, tapi pada waktu yang sama menjadi kurang jelas daripada pernyataan sebelumnya. Salah satu contoh dari perancangan ini adalah Teori Multi Nuclei , yang dikembangkan oleh dua ahli geografi, C.D Harris dan E. Ullman, di tahun 1945. Teori ini menyatakan bahwa kota-kota memiliki struktur seluler, dimana tipe pemanfaatan lahan telah dikembangkan disekeliling titik pertumbuhan tertentu, atau “nuclei”, di dalam area urban. Pengelompokan pemanfaatan lahan khusus di sekeliling nuclei ini telah didorong oleh empat faktor, yang mempengaruhi distribusi aktivitas-aktivimanusia di dalam sebuah kota dalam berbagai cara. Untuk memulainya, aktivitas-aktivitas tertentu membutuhkan fasilitas-fasilitas tertentu pula, baik yang ditemukan secara alami atau dibuktikan di kemudian hari oleh usaha manusia. Lokasi Central Business District pada titik aksesibilitas maksimal memberikan sebuah ilustrasi faktor ini. Atau sekali lagi, aktivitas-aktivitas tertentu mengelompok bersama karena mereka mendapatkan profit dari kohesi, sebuah contoh mengelompokkan industri pakaian jadi dalam distrik dalam (inner district) di beberapa kota besar. Aktivitas-aktivitas lain saling mengganggu satu sama lain dan normalnya tidak ditemukan dalam penyejajaran yang dekat: sebagai contoh, industri berat dan area residensial kelas-atas jarang ditempatkan saling berdekatan. Terakhir, aktivitas-aktivitas tertentu tidak dapat menjangkau sewa di lokasi-lokasi yang paling diinginkan: lokasi area perumahan yang lebih murah atau fasilitas penyimpanan besar memberikan contoh faktor ini dalam sebuah operasional. Ide multi nuclei mengakui fakta bahwa geografi internal kota memberikan pengaruh yang besar terhadap keganjilan lokasi-lokasi individualnya, serta operasi dari kekuatan ekonomi dan sosial yang lebih umum. Di dalam teori Multi Nuclei pula, sejarah kota-kota individual juga dilihat sebagai sebuah faktor yang penting dalam membentuk perkembangan urban. Apapun alasan kemunculannya, setelah nuclei untuk berbagai tipe aktivitas telah dikembangkan, faktor umum akan mendorong aktivitas urban tersebut menjadi pemanfaatan lahan yang mengkonfirmasikan dan mengembangkan pola yang sudah ada. Baik teori Konsentris maupun teori Sektor berasumsi bahwa sebuah kota yang khas akan tumbuh di sekeliling satu pusat tunggal; dan bahkan diagram dimana Harris dan Ullman mengilustrasikan teori Multiple Nuclei mereka membuat asumsi yang sama, meski jelasnya ide mereka dapat diaplikasikan pada contoh-contoh yang lebih kompleks
1. Zona 1 Daerah Pusat Kegiatan (DPK) atau Central Business District (CBD)
Daerah ini merupakan pusat dari segala kegiatan kota antara lain sebagai pusat kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan politik, serta merupakan zona dengan derajat aksesibilitas tinggi dalam suatu kota. CBD tersebut terbagi atas dua bagian, yaitu: pertama, bagian paling inti atau RBD (Retail Business District) dengan kegiatan dominan pertokoan, perkantoran dan jasa; kedua, bagian di luarnya atau WBD (Wholesale Business District) yang ditempati oleh bangunan dengan peruntukan kegiatan ekonomi skala besar, seperti pasar, pergudangan (warehouse), dan gedung penyimpanan barang supaya tahan lebih lama (storage buildings).
2. Zone 2: Daerah Peralihan (DP) atau Transition Zone (TZ)
Zona ini merupakan daerah yang mengalami penurunan kualitas lingkungan permukiman yang terus-menerus dan makin lama makin hebat. Penyebabnya antara lain karena adanya intrusi fungsi yang berasal dari zona pertama sehingga perbauran permukiman dengan bangunan bukan untuk permukiman seperti gudang kantor dan lain-lain sangat mempercepat terjadinya deteriorisasi lingkungan permukiman. Perdagangan dan industri ringan dari zona pertama, banyak mengambil daerah permukiman. Proses subdivisi yang terus-menerus, intrusi fungsi-fungsi dari zona pertama mengakibatkan terbentuknya “slums area” (daerah permukiman kumuh) yang semakin cepat dan biasanya berasosiasi dengan “areas of poverty, degradation and crime”. Disamping menjalarnya “bridgeheaders” ke zona ini nampak pula “outflow” dari penduduk yang sudah mampu ekonominya (consolidator) atau yang tidak puas dengan kondisi lingkungan keluar daerah.
3. Zone 3: Zona perumahan para pekerja yang bebas (ZPPB) atau “Zone of independent workingmen’s homes”Zona ini paling banyak ditempati oleh perumahan pekerja-pekerja baik pekerja pabrik, industri dan lain sebagainya. Di antaranya adalah pendatang-pendatang baru dari zona kedua, namun masih menginginkan tempat tinggal yang dekat dengan tempat kerjanya. Belum terjadi invasi dari fungsi industri dan perdagangan ke daerah ini karena letaknya masih dihalangi oleh zona peralihan. Kondisi permukimannya lebih baik dibandingkan dengan zona kedua walaupun sebagian besar penduduknya masuk dalam kategori “low-medium status”.
4. Zone 4: Zona permukiman yang lebih baik (ZPB) atau “Zone of BetterResidences” (ZBR)
Zona ini dihuni oleh penduduk yang berstatus ekonomi menengah-tinggi, walaupun tidak berstatus ekonomi sangat baik, namun mereka kebanyakan mengusahakan sendiri “business” kecil-kecilan, para profesional, para pegawai, dan lain sebagainya. Kondisi ekonomi umumnya stabil sehingga lingkungan permukimannya menunjukan derajad keteraturan yang cukup tinggi. Fasilitas permukiman terencana dengan baik sehingga kenyamanan tempat tinggal dapat dirasakan pada zona ini.
5. Zone 5: Zona para penglaju (ZP) atau Commuters Zone (CZ)Timbulnya penglaju merupakan suatu akibat adanya proses desentralisasi permukiman sebagai dampak sekunder dari aplikasi teknologi di bidang transportasi dan komunikasi. Di daerah pinggiran kota mulai bermunculan perkembangan permukiman baru yang berkualitas tinggi sampai luxurious. Kecenderungan penduduk yang oleh Turner (1970) disebut sebagai “status seekers” ini memang didorong oleh kondisi lingkungan daerah asal yang dianggap tidak nyaman dan tertarik oleh kondisi lingkungan zone 5 yang menjanjikan kenyamanan hidup. Oleh karena zona-zona tercipta ini sebagai akibat interaksi-interaksi dan interrelasi elemen-elemen sistem kehidupan perkotaan dan mengenai kehidupan manusia, maka sifatnyapun sangat dinamis dan tidak stabil.
Pembagian zone menurut Teori Konsentris :- Daerah pusat kegiatan
- Zona peralihan
- Zona perumahan para pekerja
- Zona permukiman yang lebih baik
- Zona para penglaju
- Davie
- Hatt
- Ada pertentangan antara gradeints dengan zonal boundaries
- Homogenitas internal yang tidak sesuai dengan kenyataan
- Skema yang anakronistik/out of date
- Teorinya kurang bersifat universal
Kelompok yang mengembangkan Teori Konsentris :
Teori ketinggian bangunan (Bergel)
Teori Ketinggian Bangunan (Bergel, 1955). Teori ini menyatakan bahwa perkembangan struktur kota dapat dilihat dari variabel ketinggian bangunan. DPK atau CBD secara garis besar merupakan daerah dengan harga lahan yang tinggi, aksesibilitas sangat tinggi dan ada kecenderungan membangun struktur perkotaan secara vertikal. Dalam hal ini, maka di DPK atau CBD paling sesuai dengan kegiatan perdagangan (retail activities), karena semakin tinggi aksesibilitas suatu ruang maka ruang tersebut akan ditempati oleh fungsi yang paling kuat ekonominya.
Teori sektor ( Hommer Hoyt)
Teori Konsektoral (Griffin dan Ford, 1980). Teori Konsektoral dilandasi oleh strutur ruang kota di Amerika Latin. Dalam teori ini disebutkan bahwa DPK atau CBD merupakan tempat utama dari perdagangan, hiburan dan lapangan pekerjaan. Di daerah ini terjadi proses perubahan yang cepat sehingga mengancam nilai historis dari daerah tersebut. Pada daerah – daerah yang berbatasan dengan DPK atau CBD di kota-kota Amerika Latin masih banyak tempat yang digunakan untuk kegiatan ekonomi, antara lain pasar lokal, daerah-daerah pertokoan untuk golongan ekonomi lemah dan sebagian lain dipergunakan untuk tempat tinggal sementara para imigran.
Teori poros (Babcock)Menitikberatkanpada peranan transportasidalam mempengaruhistruktur keruangan kota.Asumsi: mobilitas fungsi-fungsi dan penduduk mempunyaiintensitasyang sama dan topografi kota seragam.Faktorutama yang mempengaruhimobilitas adalah porostransportasiyang menghubungkanCBD dengan daerah bagianluarnya.Aksesibilitas memperhatikanbiaya waktu dalam sistem transportasiyang ada.Sepanjangporos transportasiakan mengalami perkembanganlebihbesar dibanding zone diantaranya.Zone yang tidak terlayani dengan fasilitas transport yang cepat,akan bersaing dalam
Menurut Harris dan Ullman dalam Daldjoeni (1992:158) menilai bahwa kota tidak seteratur penggambaran Burgess karena antar kawasan kota seolah berdiri sendiri. Sruktur ruang kota tidaklah sesederhana dalam teori konsentris. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya urutan-urutan yang teratur yang dapat terjadi dalam suatu kota terdapat tempattempat tertentu yang befungsi sebagai inti kota dan pusat pertumbuhan baru.
Teori ukuran kota (Taylor)
Model Burgess menurut Short (1984) adalah suatu model untuk kota yang mengalami migrasi besar-besaran dan pasar perumahan didominasi oleh Private sector.
Ciri khas utama teori ini adalah adanya kecenderungan, dalam perkembangan tiap daerah dalam cenderung memperluas dan masuk daerah berikutnya (sebelah luarnya). Prosesnya mengikuti sebuah urutan-urutan yang dikenal sebagai rangkaian invasi (invasion succesion). Cepatnya proses ini tergantung pada laju pertumbuhan ekonomi kota dan perkembangan penduduk. Sedangkan di pihak lain, jika jumlah penduduk sebuah kota besar cenderung menurun, maka daerah disebelah luar cenderung tetap sama sedangkan daerah transisi menyusut kedalam daerah pusat bisnis. Penyusutan daerah pusat bisnis ini akan menciptakan daerah kumuh komersial dan perkampungan. Sedangkan interprestasi ekonomi dari teori konsentrik menekankan bahwa semakin dekat dengan pusat kota semakin mahal harga tanah.
Pusat kota adalah suatu titik/tempat/daerah pada suatu kota yang memiliki peran sebagai pusat dari segala kegiatan kota antara lain politik, sosial budaya, ekonomi dan teknologi (Yunus 2002;107). Peran tersebut dijalankan melalui jasa pelayanan yang diberikan oleh fasilitas-fasilitas umum maupun sosial yang ada didalamnya. Oleh karena itu, suatu pusat kota harus memiliki kelengkapan fasilitas yang baik dan memadai. Dalam kaitannya dengan peran dari sebuah pusat kota, maka teori Christaller tentang ambang penduduk (Threshold Population) wilayah cakupan layanan (Market Range) mengambil peranan penting. Fasilitas-fasilitas tersebut harus dapat melayani seluruh penduduk kota, dan juga mencakup seluruh bagian wilayah kota.
Pertumbuhan maupun perkembangan yang terjadi pada suatu kota akan sangat mempengaruhi kinerja dari pusat kota. Semakin luas suatu kota, maka akan semakin menambah ”beban” yang ditanggung oleh pusat kota. Hal tersebut berdampak langsung terhadap perkembangan pemanfaatan lahan yang semakin terbatas di pusat kota, maka dari itu perlu diketahuinya mengenai pusat pertumbuhan kota.
Pembentukan struktur kota merupakan imbas pertumbuhan besar-besaran dari populasi kota, yang mana merupakan pengaruh dari munculnya arus transportasi, pejalan kaki, menggambarkan bahwa ada 3 model struktur kota. Yang pertama adalah teori konsentris oleh Burgess, Teori Sektor oleh Hoyt, dan Teori Pusat Kegiatan Banyak oleh C.D Harris dan F.L Ullmann. (Yunus 2002;124).
Abstark
Indonesia sebagai negara megabiodiversity nomor dua di dunia, telah dikenal memiliki kekayaan alam flora dan fauna yang sangat tinggi. Para explorer dari dunia barat maupun timur jauh telah mengunjungi indonesia pada abad ke lima belas yang lalu. Perjalanan eksplorasi yang ingin mengetahui keadaan telah dilakukan oleh marcopollo, Washington, Wallacea, Weber, Junghuhn dan Van Steines dan masih banyak yang lain merupakan perjalanan antar pulau dan antar benua yang penuh dengan tantangan. Para adventner ini melakukan perjalanan ke alam yang merupakan awal dari perjalanan ekowisata (ecotourism). Meskipun telah banyak hasil studi dan definisi para ahli memberikan pengertian tentang ecotourism, namun menurut Fandeli, (2000), pemakaian istilah ekowisata lebih populer dibanding dengan terjemahan yang seharusnya dari istilah ecotourism, yaitu ekoturisme, yang pada tahun 1990 oleh the ecotourism society didefinisikan sebagai bentuk perjalanan wisata bertanggung jawab ke area alami dan berpetualang, yang dilakukan untuk tujuan konservasi lingkungan dan melestarikan kehidupan untuk kesejahteraan penduduk setempat. Keragaman sudut pandang para ahli menyangkut definisi dan pengertian ekoturisme cukup dinamis dan positif sepanjang dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan disiplin ilmu ekoturisme itu sendiri. Walaupun dari segi keilmuan belum final, setidaknya Avenzora, (2003) telah merangkum berbagai definisi ecotourism yang ada dalam satu terminologi tiga pola yaitu: (1) berorientasi pada tujuan yang ingin dicapai dari konsep yang ditawarkan, (2) Berorientasi pada sumberdaya wisata yang digunakan, dan (3) berorientasi pada bentuk-bentuk kegiatan wisata yang diselenggarakan. Definisi dan pengertian ecotourism di atas, sekedar memberikan pemahaman bahwa dinamika ekowisata sebagai bidang ilmu telah diminati oleh banyak kalangan khususnya scholars.
Secara umum produk jasa pelayanan berbeda dengan produk manufaktur, sebab jasa pelayanan terdiri dari tindakan dan interaksi yang merupakan kontak sosial secara langsung antara produsen dan konsumen. Sedangkan produk manufaktur tidak terdapat kontak langsung dan bukan merupakan kontak sosial, Schroeder (2007).
Untuk memahami lebih dalam mengenai jasa pelayanan secara umum, di bawah ini ditampilkan tabel perbedaan antara produk manufaktur dan produk Jasa pelayanan:
Perbedaan Antara Produk Manufaktur dan Jasa pelayanan
Produk Manufaktur Produk Jasa Pelayanan
Produk dapat terlihat (Tangible) Produk tak terlihat (intagible)
Kepemilikan dialihkan pada saat pembelian Kepemilikan pada umumnya tidak dialihkan
Produk dapat dijual kembali Tidak mungkin dijual kembali
Dapat didemonstrasikan sebelum dibeli Tidak ada sebelum dibeli
Dapat disimpan dalam persediaan Tidak dapat disimpan
Produksi mendahului konsumsi Produksi dan konsumsi terjadi secara serentak
Produksi dan konsumsi dapat dipisahkan dalam lokasi Produksi dan lokasi harus terjadi pada lokasi yang sama
Produk dapat dipindahkan Produk tidak dapat dipindahkan (meskipun produsen dapat)
Penjual memproduksi Pembeli mengambil bagian langsung dalam proses produksi dan benar-benar dapat melakukan sebagian produksi
Produk dapat dieksport Jasa tidak dapat diekspor, tapi sistem pelayanan jasa dapat
Bisnis diorganisasi berdasarkan fungsi, dengan penjualan dan produksi terpisah Penjualan dan produksi tidak dapat dipisahkan secara fungsional
Sumber: Richard Norman, service management; Strategy and Leadership in the Service
Membandingkan jasa layanan seperti yang disampaikan pada tabel di atas dengan jasa layanan sebagai produk ekowisata, tentunya nyaris memiliki kemiripan secara umum, namun secara spesifik dapat berbeda. Apabila Jasa layanan ekowisata berorientasi pada wisata masal, maka masuk pada kategori jasa yang bercirikan interkasi dan pelayanan yang rendah dengan intensitas tenaga kerja yang rendah, dan bersifat padat karya. Namun apabila jasa layanan ekowisata berorientasi pada wisata terbatas dan minat khusus, maka sangat menuntut
Membandingkan jasa layanan seperti yang disampai profesionalitas dengan tingkat derajat interaksi dan pelayanan yang tinggi, sehingga menurut Schroeder (2007), jasa tersebut bersifat customization.
Davis (Dalam fennell, 2002) mendefinisikan produk pariwisata yaitu; Tourism products might more appropriately be viewed. as services, instead of goods, because tourism is an experiential phenomenon that brings people and places together over defined periods of time. Hampir senada dengan pendapat diatas, Wahab, (1989) memberikan batasan tentang Produk wisata sebagai jasa-jasa pelayanan yang berbeda dengan produk jasa lain yang ada dipasaran, bersifat kaku (rigit) dan karena belum menjadi kebutuhan pokok maka bersaing dengan produk jasa lainnya.
Sedangkan Pendit, (1999) menyampaikan produk wisata adalah segala bentuk pelayanan yang disajikan bagi kebutuhan wisatawan, berupa benda-benda pariwisata yang bersifat material maupun non-material.
Implikasi definisi diatas menegaskan dua hal penting dalam rangka pengembangan ekowisata dari perspektif jasa pelayanan yaitu pertama, produk ekowisata disebut sebagai jasa pelayanan (service) “terpadu”. pelayanan dimaksud secara implisit dapat terlihat dari multiple-mission yang diemban oleh pembangunan pariwisata di Indonesia (lihat; Nirwandar 2007), diantaranya tourism sebagai industri diharapkan akan mampu menyediakan jasa layanan alam dan lingkungan (supply of environmental service) tanpa mengubah fungsi dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat lokal (local needs). Kedua, produk ekowisata disebut sebagai jasa pelayanan dalam rangka menciptakan kepuasan (demand) experiential of phenomenal bagi wisatawan yang berkunjung ke tempat-tempat wisata. implikasi pertama (supply), sebagai faktor prasyarat yang harus tersedia agar atribut pelayanan dapat terwujud, Seperti faktor sarana-prasaranan, faktor obyek dan daya tarik wisata alam, serta faktor kenyamanan, syahadat (2006). Sedangkan implikasi yang kedua, menunjukan bahwa kepuasan wisatawan menjadi prioritas dalam penyajian jasa layanan ekowisata, diindikasikan sebagai experiential of phenomenal, yang oleh fennell, (2002) disebut kebutuhan psikologis pengunjung.
Mempertimbangkan apa yang disampaikan yoeti, (2008) bahwa ekowisata ibarat memiliki pisau bermata dua karena menyelaraskan antara kepentingan bisnis dengan misi konservasi sumberdaya alam dan sosial, sebetulnya menggambarkan tingginya tingkat kesulitan manajemen ekowisata dalam hal jasa pelayanan. Kasus dampak negatif yang ditimbulkan, berupa pencemaran ekosistem air sebagai akibat perilaku pengunjung wisata alam di Taman Nansional Gunung Gede Pangrango (Sawitri dkk, 2004), kurang memadainya jasa pelayanan transportasi bagi perkembangan pariwisata di Daerah Istimewa Yokjakarta (sari dkk, 2002), adalah bukti nyata bahwa penanganan jasa pelayanan ekowisata masih perlu mendapat perhatian serius.
2. Pengguna dan penyedia Jasa Layanan Ekowisata
Ketika kita tengah menikmati sebuah jasa layanan, misalkan di salah satu restoran kelas menengah keatas, biasanya kita membaca sebuah tulisan pemberitahuan “Apabila anda tidak puas dengan pelayanan kami, silahkan hubungi nomor telepon ini .........” atau penyampaian secara lisan oleh karyawan restoran, misalnya; “mohon maaf bapak/ibu, kalau ada yang kurang dalam pelayanan ini tolong beritahukan kami”.
Tulisan maupun penyampaian lisan tersebut tentunya memiliki tujuan khusus, baik bagi pengguna jasa layanan maupun penyedia jasa yaitu, pertama; penyedia jasa ingin meyakinkan kepada pengguna jasa bahwa produk yang ditawarkan berkualitas baik, dengan dibuktikan adanya “garansi”. kedua, secara psikologis agar pengguna jasa merasa nyaman karena diikutsertakan dalam menentukan proses produksi jasa layanan yang sedang berlangsung. Ketiga, sebagai evaluasi formatif bagi internal manajemen penyedia jasa.
Contoh kasus diatas mengilustrasikan bagaimana intervensi terhadap perilaku konsumen dilakukan secara tidak langsung. Peluang yang diharapkan terjadi adalah diagnosa mengukur selera konsumen berupa cita rasa, kenyamanan, dan kepuasan terhadap produk jasa layanan yang ditawarkan pemilik rumah makan.
Dalam konteks jasa layanan ekowisata, kasus serupa dapat dilakukan dengan metode yang berbeda. Misalkan seperti yang dicontohkan Fennell (2002), dalam mendiagnosa selera calon wisatawan, maka terlebih dahulu penyedia jasa ekowisata harus melakukan komunikasi intens dengan calon wisatawan, agar dapat mengetahui kebutuhan seperti apa yang diperlukan selama melakukan perjalanan wisata. Mengetahui keterkaitan antara permintaan dengan resources and supply sudah diingatkan oleh hall dan Stephen (dalam Avenzora, 2003), bahwa harus mampu mengenali human demand as a participation, dan human demand as a desire to engage in recreation.
Untuk mengenali recreation of demand, oleh sebagian literatur telah memperkenalkan demand typology, mulai dari potential demand, induced demand dan actual demand, hingga suppressed demand, subtitution of demand, dan redicection demand. Sedangkan untuk mengenali supply of resources , Avenzora (2003) mendefinisikan sebagai: “suatu ruang tertentu dengan batas-batas tertentu yang mengandung elemen-elemen ruang tertentu yang dapat : (1) menarik minat orang untuk berekreasi, (2) menampung kegiatan rekreasi, dan (3) memberikan kepuasan orang berekreasi” Dari sudut pandang psikologis, Ahola (dalam Fennell, 2002) memberikan pandangan, alasan kebutuhan wisatawan untuk bepergian yaitu: (i) untuk mencari pemuasan batin (kebanggaan), dan (ii) melarikan diri dari rutinitas keseharian (penghindaran). Dua kekuatan motivasional ini secara simultan mempengaruhi pilihan perjalanan seseorang.
Pilihan-pilihan tersebut bahkan sudah terpola kedalam bentuk-bentuk karakter keinginan wisatawan (demand typology), seperti yang disampaikan avenzora (2008), sebagai berikut:
- Venture-someness : adalah wisatawan ingin mencari dan menggali, untuk cenderung menjadi pengunjung pertama pada tujuan wisata.
- Peleasure-seeking: adalah wisatawan ingin mendapatkan kenyamanan dalam segala hal selama perjalanan, baik transportasi perjalanan, jasa hotel maupun wisata hiburan
- Impassivity: adalah wisatawan yang cepat dalam pengambilan keputusan dengan tanpa perencanaan
- Self-confidence: adalah wisatawan yang memiliki percaya diri untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Hal ini tercermin ketika menentukan kegiatan wisata ditempat tujuan akan selalu berbeda.
- Planfulness: adalah wisatawan yang melakukan perencanaan perjalanan lebih awal, dengan mempertimbangkan program-program wisata sebelumnya.
- Masculinity: adalah wisatawan yang selalu berorientasi pada aksi perjalanan yang penuh tantangan
- Intelektualisme: adalah wisatawan yang memilih tujuan wisata sejarah dan budaya, meskipun harus membayar mahal.
- People orientation: adalah wisatawan yang berorientasi pada menjalin hubungan sosial dengan orang-orang yang mereka kunjungi.
Berdasarkan tipologi diatas maka dapat ditarik beberapa kesamaan karakter wisatawan sebagai berikut:
1. Keinginan untuk mendapatkan kepuasan menjadi sesuatu yang prioritas.
2. Keinginan untuk mendapatkan kenyamanan selama perjalanan menuju destinasi sampai kembali pulang
3. Keinginan untuk mendapatkan pengalaman yang berarti dalam hidup.
Kesamaan karakter keinginan diatas, disebut sebagai bentuk harapan untuk memenuhi kebutuhan (lihat: Fennell, 2002), yaitu perkiraan atau keyakinan tentang sesuatu yang akan diterima melalui berbagai informasi (kotler, 1997). Dalam konteks sebagai konsumen ekowisata, ciri khas karakter tersebut yang membedakan antara ekowisatawan dengan wisatawan pada umumnya. Berkaitan dengan kualitas layanan, seorang ekowisatawan tidak hanya sekedar menuntut kenyamanan dalam perjalanan menuju destinasi, kegiatan di destinasi, perjalanan pulang dari destinasi. Akan tetapi lebih dari pada itu adalah, esensi berpetualang, menghadapi tantangan dan rintangan alam liar, memburu keunikan, merupakan sesuatu kebutuhan yang harus terpenuhi dalam pelayanan.
Pada sisi lain, pemenuhan kebutuhan agar sesuai harapan, harus diimbangi oleh ketersediaan faktor-faktor supply yang berhubungan dengan atribut jasa pelayanan (hannah and krp, 1991), seperti yang disampaikan Coper et.al (1993) dalam mahadewi (2008) yaitu:
- Atraksi (Attraction), yaitu semua atraksi yang menarik wisatawan kesuatu tempat, baik atraksi alam maupun budaya
- Akessibilitas (Accessibilities), kemudahan mencapai destinasi, yang meliputi tersedianya transportasi (frekuensi, kenyamanan, dan keamanan), izin masuk DTW dan kemudahan mendapatkan informasi.
- Amenitas atau fasilitas (Amenities), tersedianya akomodasi, rumah makan, agen perjalanan.
- Ancillary services, yaitu bentuk dari wadah organisasi pariwisata, seperti dmo (destination marketing/management organozation)
Apabila pemenuhan kebutuhan wisatawan tidak terpenuhi oleh atribut pelayanan yang disediakan, atau tidak terjadi keterkaitan yang sinergis antara recreation demand dan resources suplply, maka yang akan terjadi adalah terciptanya kesenjangan-kesenjangan, antara jasa yang diharapkan dengan jasa yang dirasakan, antara penyampaian jasa dengan penjabaran jasa, antara persepsi manajemen dengan penjabaran jasa, pada level kualitas jasa yang ditawarkan,
Hal ini dapat terjadi karena tiga faktor, yaitu tidak adanya komitmen total manajemen terhadap kualitas jasa, kekurangan sumberdaya dan karena adanya kelebihan permintaan.3) Gap antara kualifikasi spesifikasi kualitas jasa dan penyampaian jasa; kesenjangan ini terjadi disebakan oleh karyawan kurang terlatih, beban kerja melampaui batas, tidak dapat memenuhi strandar kinerja yang ditetapkan.(4) Gap antara penyampaian jasa dan komunikasi eksternal; harapan dan janji penyedia jasa tidak sesuai kenyataan. (5) Gap antara jasa yang dirasakan dan jasa yang di harapkan; gap ini terjadi apabila wisatawan mengukur kinerja organisasi dengan cara yang berlainan, atau bisa juga keliru mempersepsikan kualitas jasa tersebut.
3. Manajemen Pelayanan Jasa EkowisataMewujudkan keterkaitan antara permintaan recreation dengan resources and supply dalam konteks jasa pelayanan ekowisata, maka mutlak dirumuskan terlebih dahulu sebuah rancangan proses produksi, dengan mempertimbangkan empat elemen produksi jasa, Schoroeder (2007), yaitu: Wisatawan, Manusia/operator, strategi dan sistem, seperti dalam gambar 2. dibawah:
Rancangan Proses Produksi
Sumber: Schoroeder (2007). (telah dimodivikasi)
Gambar diatas menjelaskan tentang konsep keterkaitan antara masing-masing elemen dalam segitiga jasa yaitu, wisatawan yang berada ditengah sebagai pusat yang harus mendapatkan jasa pelayanan dari manusia/karyawan. Strategi adalah pandangan atau filosopi yang digunakan untuk menuntun segala aspek pelayanan jasa, serta sistem adalah fisik dan prosedur yang digunakan. Garis yang menghubungkan masing-masing elemen menggambarkan beberapa interpretasi yakni; garis dari wisatawan ke strategi, menunjukan bahwa strategi menempatkan wisatawan terlebih dahulu, dengan menemukan kebutuhan wisatawan yang sebenarnya. Manajemen harus mengidentifikasi apa yang menjadi harapan wisatawan untuk mendisain jasa layanan, Schroeder (2007); apa yang diinginkan wisatawan?, bagaimana mengkomunikasikannya?, apakah yang ditawarkan adalah sesuatu yang unik?, Avenzora (2003); (1) Apa dan berapa banyak yang dapat diberikan, (2) kapan dapat diberikan, dan (3) kepada siapa dapat diberikan.
Garis dari wisatawan ke sistem menunjukan bahwa sistem (prosedur dan peralatan) sesuai dengan harapan wisatawan. Kenyamanan dalam perjalanan menuju dan pulang dari destinasi, dan rasa aman selama beraktifitas di destinasi, tak ketinggalan pula menciptakan momentum pembuktian kebenaran antara fakta destinasi dilapangan dengan promosi pada iklan atau brosur, atau yang telah dikomunkasikan sebelumnya, yang Kesemuanya harus dirancang dalam sistem pelayanan terpadu.
Garis dari wisatawan ke manusia/karyawan menunjukan bahwa setiap karyawan memberikan pelayanan yang terbaik kepada wisatawan, baik operator maupun manejer program. Pada fase ini, menurut Muntasib (2009), Kualitas SDM karyawan sangat menentukan kualitas produk pelayanan ekowisata. Kemampuan interpreter dan guide yang terlatih adalah bagian dari proses operasi jasa layanan yang membuktikan kinerja organisasi penyedia jasa.
Konsep yang berhubungan dengan segitiga jasa seperti penjelasan diatas, memberikan suatu cara berfikir yang menarik tentang operasi jasa. Selain bermanfaat untuk merancang sistem jasa layanan, juga dapat digunakan untuk mendiagnosa masalah jasa dan menemukan penyebab timbulnya pelayanan yang buruk.
Setiap pelayanan jasa ekowisata disampaikan dalam suatu siklus jasa, siklus tersebut diawali dari titik di mana wisatawan pertama kali berhubungan dengan sistem pelayanan jasa. Dimulai dari pra-perjalanan, perjalanan menuju destinasi, kegiatan di destinasi, perjalanan pulang dari destinasi dan tahap rekoleksi. Albert (dalam Schroeder, 2007) menekankan gagasan “saat-saat kebenaran (moments of truth)” adalah setiap saat di mana wisatawan berhubungan dengan sistem pelayanan dalam siklus pelayanan jasa. Pengelolaan “saat-saat kebenaran” dengan baik untuk menciptakan suatu pengalaman pelayanan yang positif adalah intisari manajemen jasa.
Penutup
Standarisasi pelayanan jasa ekowisata dewasa ini sudah sangat dibutuhkan oleh lembaga-lembaga yang dipercayakan sebagai operator dalam mengelola obyek wisata alam pada kawasan konservasi dan hutan lindung. Setidaknya dengan memiliki pedoman yang standar, diharapkan akan merangsang tumbuhnya indusri-industri ekowisata.
Daftar Pustaka
- Anonim, 2000. Faktor Daya Tarik Obyek Sumber Daya Alam Sekawasan Sesuai Permintaan Pasar Dalam Meningkatkan Kunjungan Wisata Di Jawa Tengah http://www.balitbangjateng.go.id/kegiatan/penelitian2008/c2__pariwisata.pdf. Diakses 2 desember 2009
- Avenzora, R. 2003a. Perencanaan Pengembangan Pariwisata Alam Nasional Di Kawasan Hutan: Wissenchaftlichesplannung VS Leidbildsplannung. Makalah disampaikan Dalam Lokakarya Pembahasan Draf Rencana Pengembangan Pariwisata alam Nasional di Kawasan Hutan Oleh Ditjen PHKA, Departemen Kehutanan; Hotel Salak Bogor, 30 desember 2003.
- Avenzora, R. 2003b. Ekoturisme: Evaluasi Konsep. Media Konservasi, Jurnal Ilmiah Bidang Konservasi sumberdaya Alam Hayati dan Lingkungan. Vol. VIII/Nomor 2, Juni 2003. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB.
- Avenzora, R. 2003c. Rekreasi Perkotaan : Sebuah Tantangan. Media Konservasi, Jurnal Ilmiah Bidang Konservasi Sumberdaya Alam hayati dan Lingkungan, Vol. VIII/Nomor 3, Desember 2003. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB.
- At, M., Susdiyanti, T., Septiana, W, 2004. Pengembangan Interpretasi Elang Jawa (Spizaetus bartelsi Stresemann, 1924) Dalam Kegiatan Ekowisata Di Resort Cikaniki Taman Nasional Gunung Halimun. Jurnal Ilmu-Ilmu Kehutanan Nusa Sylva, Vol. 4 Nomor 2, Desember 2004.
- Anaz, S. 2007. Pengaruh Kualitas Jasa Pelayanan Terhadap Kepuasan Konsumen Pada Wisata Bahari Lamongan. http://one.indoskripsi.com/content/pengaruh-kualitas-jasa-pelayanan-terhadap-kepuasan-konsumen-pada-wisata-bahari-lamongan, Diakses 2 Desember 2009
- Basuni, S. 2001. Ekoturisme, Manajemen Konservasi dan Otonomi Daerah. Jurnal Media Konservasi Vol. VII, Nomor 2, Juni 2001. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB.
- Dawy, M. 2004. Pengembangan Ekowisata Di Daerah Aliran Sungai Mai’ting Kabupaten Tana Toraja. Jurnal Bumi Kita, Lingkungan Hidup Dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. UMPAR Pres. Sulawesi Selatan.
- Erna ferrinadewi, 2008. http://paul02583.files.wordpress.com/2008/05/ma06010402.pdf. Diakses 2 desember 2009
- Engel, J.F., Blackwell, R.D., Miniard, P.W. 1994. Perilaku Konsumen Jilid 1. Binarupa Aksara, Jakarta.
- Fennell, D.A. 2002. Ecotourism programme Planning. CABI Publishing is a Division of CAB International
- Fitriani, L., Prasetyo, L.B., soekmadi, R. 2004. Kajian Pengembangan ekowisata Pulau-pulau Kecil Kawasan Bungus teluk Kabung, Kota Padang. Jurnal Pascasarjana Vol. 27 Nomor 1 Januari 2004, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
- Halim, H.S., Tarumingkeng, R.C., Kartodihardjo, H., Sekartjakrarini, S. 2006. Penerapan Konsep Ekowisata Untuk meningkatkan Daya Saing Pariwisata Pesisir Di Kabupaten Pandeglang. Jurnal Forum Pascasarjana, Volume 29 Nomor 2 April 2006, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
- Kolter, Philip. 1997. Manajemen Pemasaran: Analisis, perencanaan, Implementasi dan Pengendalian (Edisi Kedelapan Terjemahan Arcella Ariwati Hermawan), Jakarta: Salemba Empat
- Muntasib, E.K.S.H., Mulyadi, K. 1997. Manajemen Wisata Alam Dan Kelestarian Badak Jawa Di Taman nasional Ujung Kulon. Jurnal Media Konservasi Edisi Khusus.
- Muntasib, E.K.S.H. 2009. Materi Matakuliah Perencanaan Pelayanan Ekowisata. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Institut Pertanian Bogor.
- Manafe, A.M. 2008. http://atanaamah.files.wordpress.com/2008/02/artikel-5-rocky.pdf. Diakses 2 desember 2009
- Natalisa, D. 2007. Survey Kepuasan Pelanggan. Jurnal Penelitian manajemen Dan Bisnis Sriwijaya, Vol. 5 Nomor 9, Juni 2007. UNSRI http://digilib.unsri.ac.id/download/jurnal%20mm%20vol%205%20no%209%20artikel%201%20diah%20nataliza.pdf. Diakses 2 Desember 2009
- Tebaiy, S., Kusumastanto, T., Purwanto, J., 2005. Kajian pengembangan Ekowisata Mangrove Berbasis masyarakat Di Taman Wisata Teluk Youteva, Jayapura, Papua. Jurnal Forum Pascasarjana, Volume 28 Nomor 2 April 2005, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
- Rakatama, A. 2008. Kontribusi Aktifitas wisata Alam Di Taman nasional Way Kambas Terhadap Perekonomian Setempat. Jurnal Penelitian & Sosial Ekonomi Kehutanan Vol. 8 Nomor 1, Maret 2008. Badan Penelitian Dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan.
- Sawitri, R., Heryanto, N.M.,Santosa, H. 2004. Pengaruh Kegiatan Wisata Alam Terhadap Kelestarian Lingkungan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, Vol. 1 (3) 2004: 326 -336, Bogor Indonesia.
- Syahadat, E. 2006. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kunjungan Wisatawan Di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP), Jurnal Penelitian & Sosial Ekonomi Kehutanan Vol. 3 Nomor 1 Maret 2006, Hal. 1-16, Bogor Indonesia.
- Sunari., Alikodra, H.S., Mudikdjo, K., Dahuri, R. 2005. Model Kebijakan Daerah Dalam Pengembangan Ekowisata: Studi Kasus Di Kabupaten Indramayu. Jurnal Forum Pascasarjana, Vol. 28 Nomor 4 Oktober 2005, Hal. 357-365, Sekolah Pascasarjanan Institut Pertanian bogor.
- Schroeder, R.G. 2007. Manajemen Operasi; Pengambilan Keputusan Dalam Suatu Fungsi Operasi. Edisi ketiga Jilid 1. IKAPI, Jakarta.
- Sangpikul, A., Batra, A. 2007. Ecotourism: Knowladge, Attitude and Travel Experience Of Thai Youths. Journal Of Houspitality, Leisure, Sport And Tourism Education Vol. 6 No. 1
- Pratiwi, S., Alikodra, H.S., Sekartjakrarini, S., Kartodihardjo, H, 2008. Analisis Ekowisata Di taman nasional Gunung Halimun. Jurnal Forum Pascasarjana, Vol. 31 Nomor 3 Juli 2008, Hal. 153-162, Sekolah Pascasarjanan Institut Pertanian bogor.
- Pratomo, 2006. Formulasi Strategi Pengembangan Ekowisata Di Taman nasional Gunung gede Pangrango. Ekologia, Jurnal Ilmiah Ilmu Dasar Dan Lingkungan Hidup Vol. 6 nomor 1, april 2006.
- Purnamasari, Q., Muntasib, E.K.S.H., Indrawan A, Kajian pengembangan produk Wisata Alam Berbasis Ekologi Di Wilayah Wana Wisata Curug Cilember (WWCC), Kabupaten Bogor. Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. XI Nomor 1, Januari-Juni 2005.
- Pendit, N.S. 1999. Ilmu Pariwisata, sebuah Pengantar Perdana. PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
- Utami, W. 2008. Relationship Effort Dan Kualitas Layanan Sebagai Strategi Penguat Relationship Outcomes http://paul02583.files.wordpress.com/2008/05/mar06010103.pdf. Diakses 2 Desember 2009