Posted by : Anak Bone
Selasa, 08 November 2011
Tugas : Individu
Makalah : Analisis Ekonomi Wilayah dan Kota
PELUANG DAN TANTANGAN SEKTOR INFORMAL PEREKONOMIAN PERKOTAAN
PKL
BAYU ALFIAN
60800110019
TEKNIK PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2011
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis penjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Pedagang Kaki Lima ”.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan penelitian ini, khususnya kepada :
1. Bapak pembimbing mata kuliah Analisis Ekonomi Wilayah dan Kota
2. Rekan-rekan semua di jurusan Teknik PWK UIN Alauddin
3. Secara khusus penulis menyampaikan terima kasih kepada keluarga tercinta yang telah memberikan dorongan dan bantuan serta pengertian yang besar kepada penulis, baik selama mengikuti perkuliahan maupun dalam menyelesaikan makalah ini
4. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan dalam penulisan makalah ini.
Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Akhirnya penulis berharap semoga Allah memberikan imbalan yang setimpal pada mereka yang telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai ibadah, Amiin Yaa Rabbal ‘Alamiin
Sungguminasa, 8 November 2011
DAFTAR ISI
Sampul
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
BAB II PEMBAHASAN
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu masalah yang dihadapi bangsa kita saat ini adalah masalah ketenagakerjaan. Jumlah pencari kerja diperkirakan terus meningkat dari tahun ke tahun. Gerak mobilitas pencari kerja cenderung ke wilayah perkotaan. Mobilitas‘ke arah perkotaan memiliki dua harapan, yaitu harapan untuk memperoleh pekerjaan dan harapan untuk memperoleh pendapatan atau disebut mobilitas penduduk karena motif ekonomi (Everet S.Lee,1966). Selain itu ,gerak pencari kerja cenderung ke perkotaan karena di perkotaan akan lebih mudah memperoleh informasi (Kota sebagai Pusat Informasi),bahkan perkotaan adalah pusat aktifitas sosial, ekonomi,politik dan budaya yang memberi kekuatan relatif besar bagi terpenuhinya harapan-harapan tadi.Apabila kondisi sosial ekonomi daerah itu memungkinkan banyak peluang untuk terpenuhinya kebutuhan (Needs) maka kecenderungan tingkat mobilitas pencari kerja ke daerah tersebut akan semakin tinggi (Nilai Kefaedahan Wilayah ).
Harapan tidaklah selamanya menjadi suatu kenyataan, jumlah pencari kerja (Demand) dibandingkan dengan lapangan kerja (supply) yang tersedia sangatlah tidak seimbang, terutama penyediaan lapangan kerja di sektor formal.Jika penyerapan tenaga kerja semakin kecil atau terbatas di sektor formal maka tenaga kerja akan cenderung semakin besar memasuki sektor informal. Karakteristik lapangan kerja di sektor informal itu ditandai oleh modal kecil,organisasi menyerupai organisasi keluarga,kredit diproleh dari lembaga resmi bunga lunak dan bisa pula diperoleh dari lembaga tidak resmi atau renternir. Sifat kewiraswastaannya mandiri;persediaan barang jumlah kecil dan kualitas berubah – ubah; hubungan kerja majikan-buruh (jika ada) ber- dasarkan atas saling percaya (Mubiarto, 1996). Sektor informal adalah kegiatan ekonomi yang bersifat marjinal, mudah berpindah-pindah, berdiri sendiri, tidak memerlukan keahlian khusus.Dari karakteristik tersebut salah satu contoh di sektor informal adalah pedagang kaki lima.
B. Rumusan Masalah
1. Penyebab Munculnya PKL
2. Penanganan PKL
PEMBAHASAN
1. Penyebab Munculnya PKL
Sejak tahun 1970-an, isu sektor informal telah menarik perhatian minat banyak ahli perkotaan (Todaro dan Smith, 2006). Sesudah diadakan serangkaian observasi di beberapa negara berkembang, yang sejumlah besar tenaga kerja perkotaannya tidak memperoleh tempat atau pekerjaan di sektor modern yang formal, maka diketahui bahwa PKL umumnya tidak terorganisir dan tertata secara khusus melalui peraturan. Menurut Todaro dan Smith (2006), dalam tulisannya yang berjudul ’Dilema Migrasi dan Urbanisasi’, menyatakan dilema yang paling kompleks dari proses pembangunan adalah perpindahan penduduk (migrasi) secara besar-besaran dari berbagai daerah pedesaan ke daerah perkotaan. Migrasi ini memperburuk ketidakseimbangan struktural antara desa dan kota secara langsung dalam dua hal, yang pertama, sisi penawaran, migrasi internal secara berlebihan akan meningkatkan jumlah pencari kerja di perkotaan yang melampaui tingkat atau batasan pertumbuhan penduduk, yang sedianya masih dapat didukung oleh segenap kegiatan ekonomi dan jasa-jasa pelayanan yang ada di daerah perkotaan. Kehadiran para pendatang tersebut cenderung melipatgandakan tingkat penawaran tenaga kerja di perkotaan, sementara ketersediaan tenaga kerja di pedesaan semakin tipis; dan kedua, sisi permintaan, penciptaan kesempatan kerja di daerah perkotaan lebih sulit dan jauh lebih mahal dari pada penciptaan lapangan kerja di pedesaan, karena kebanyakan jenis pekerjaan sektor-sektor industri di perkotaan membutuhkan aneka input-input komplementer yang sangat banyak jumlah maupun jenisnya. Disamping itu, tekanan kenaikan upah, tunjangan kesejahteraan dan metode atau teknologi produksi canggih yang hemat tenaga kerja juga membuat para produsen enggan menambah karyawan karena peningkatan output sektor modern tidak harus dicapai melalui peningkatan produktifitas atau jumlah pekerja. Artinya permintaan tenaga kerja di daerah perkotaan cenderung menurun. Dengan demikian pada akhirnya masalah ketidakseimbangan antara tenaga kerja dan lapangan kerja formal menjadi masalah yang sangat kronis, karena terciptanya surplus tenaga kerja perkotaan yang besar yang tidak dapat terserap.
Pembangunan yang tidak merata antara daerah pedesaan dengan perkotaan merupakan salah satu penyebab migrasi penduduk dari desa ke kota. Pergeseran lahan pertanian dengan perubahan fungsinya menjadi pemukiman, area industri atau lahan komersil lainnya, berakibat semakin sempitnya kesempatan kerja disektor pertanian, juga mendorong tenaga kerja pedesaan pergi ke perkotaan untuk mencari kerja, akibatnya terjadi ekses tenaga kerja di perkotaan. Ekses tenaga kerja yang berlebihan ini dan terbatasnya lapangan kerja formal, mendorong penduduk lokal maupun pendatang baru, masuk ke pekerjaan sektor informal, dalam hal ini pedagang kakilima. Menurut Sathuraman (1991), sektor informal merupakan manifestasi dari situasi pertumbuhan kesempatan kerja di negara sedang berkembang. Kegiatan memasuki usaha kecil di perkotaan lebih ditujukan untuk mencari kesempatan kerja dan pendapatan, daripada memperoleh keuntungan. Mereka yang terlibat sektor ini pada umumnya miskin, berpendidikan rendah, tidak terampil, dan kebanyakan adalah para pendatang. Rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki, berpengaruh dalam hal berkompetisi dengan mereka yang memiliki pendidikan yang tinggi untuk mencari pekerjaan disektor formal. Tidak dapat dipungkiri bahwa di Indonesia terdapat kecenderungan untuk meyakini kemampuan seseorang dilihat dari latar belakang pendidikannya (lulusan SD,SMP,SMA), dan bukan dari kemampuannya untuk menjalankan pekerjaan tersebut. Sesuai dengan cirinya yang fleksibel, modal yang dibutuhkan untuk membuka usaha kaki lima relatif kecil. Usaha kaki lima juga menggunakan teknologi yang sederhana serta tidak memerlukan prosedur yang berbelit-belit. Artinya ada kemudahan untuk masuk ke sektor ini. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi para pencari kerja yang belum mendapatkan pekerjaan. Mereka kapan dapat saja untuk masuk dan keluar dari sektor ini. Pengalaman, cerita keberhasilan bertahan hidup di perkotaan atau ajakan dari rekan sekampung yang lebih dahulu pergi ke kota, juga menjadi faktor yang menarik penduduk desa pergi ke kota. Fakta pembangunan di perkotaan yang lebih tinggi dari daerah pedesaan mengasumsikan bahwa daya beli atau potensi pasar di perkotaan sangat tinggi, ini merupakan kesempatan besar untuk melakukan usaha di sektor perdagangan. Sehingga usaha berdagang dapat dianggap merupakan salah satu potensi yang menjanjikan untuk dapat mencari keuntungan dengan mudah/cepat.
2. Penanganan PKL
Pendekatan yang digunakan untuk penangangan PKL pada makalah ini mengacu pada aspek fisik dan non fisik. Integrasi pendekatan ini dinamakan pendekatan pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengabaikan kebutuhan generasi yang akan datang. Pendekatan Pembangunan berkelanjutan antara lain yaitu :
a. Ketegasan dan Konsisten Pemerintah Daerah
Di ruas jalan yang jelas-jelas disebutkan tidak boleh ditempati PKL atau bebas PKL, sejak dini harus dilakukan pengawasan secara terus-menerus. Sebelum jumlah PKL yang mangkal di daerah terlarang bertambah banyak, maka aparat disertai dengan masyarakat dapat segera mengambil langkah-langkah pengawasan dan penindakan.
Di wilayah di mana jumlah PKL sudah telanjur banyak, biasanya upaya penindakan yang dilakukan akan jauh lebih sulit dan membutuhkan energi serta dana yang jauh lebih besar. Sistem deteksi dini ini tentu saja baru dapat berjalan dengan efektif jika pihak penduduk disekitar lokasi juga diberi dukungan, baik fasilitas fisik maupun sumber daya manusianya.
Di wilayah kecamatan yang termasuk jalur rawan dijejali PKL dan masih termasuk jalur utama yang dinyatakan bebas PKL, maka jumlah Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang diperbantukan bagi kecamatan harus lebih besar daripada kecamatan yang terletak di pinggiran kota.
Oleh karena itu, yang lebih penting dilakukan adalah bagaimana mengkolaborasikan antara fungsi pembinaan, pengawasan, dan fungsi preventif, serta fungsi penindakan itu sendiri untuk situasi khusus. Yang dimaksud fungsi pembinaan adalah bagaimana upaya yang dikembangkan pemda terhadap kelompok PKL binaan tidak hanya sekadar memberikan bantuan modal usaha, tetapi juga difokuskan pada penataan PKL itu sendiri ke lahan-lahan yang tidak mengganggu kepentingan publik.
Adapun yang dimaksud fungsi pengawasan adalah upaya pemda untuk terus-menerus mendata dan mengawasi pasang-surut perkembangan PKL serta bangunan liar di berbagai wilayah kota.Tujuannya, supaya dapat diperoleh data akurat dan up to date tentang keberadaan PKL.
Sementara yang dimaksud fungsi preventif adalah upaya pemda untuk mencegah arus urbanisasi agar tidak kelewat batas atau melebihi kemampuan daya tampung kota.
Salah satu bentuk ketegasan yang baik yaituPKL di Bangkok. PKL di Bangkok tidak dipungut retribusi, namun mereka diwajibkan menjaga kebersihan lingkungan. Mereka yang melanggar, didenda antara Rp 50.000 dan Rp 200.000, untuk setiap kali pelanggaran. Seorang pedagang K-5 di kawasan Banglamphu di pusat kota Bangkok dapat di denda hanya karena menjatuhkan es batu di jalan. Dan petugas Pamong Praja (PP) dilengkapi dengan peralatan kamera untuk membuktikan kelakuan PKL. petugas juga tidak mengenal kompromi. Uang denda diperuntukkan bagi petugas PP sebagai tambahan insentif.
b. Pendekatan Vertikal
Guna mengatasi persoalan PKL, upaya penataan yang dapat dilakukan dapat dilakukan secara vertikal. Secara vertikal antara lain menyangkut perbaikan dari segi perijinan, pembinaan, dan pemberian bantuan kepada para PKL. Perijinan bagi aktivitas Pedagang kaki lima dalam melakukan usahanya didasari atas pertimbangan agar memudahkan dalam pengaturan, pengawasan dan pembatasan jumlah; membantu dalam penarikan retribusi. Pemberian surat ijin usaha ini telah diterapkan di negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Philipina.
c. Daya Dukung Lingkungan
Betapa pun harus disadari bahwa terjadinya urbanisasi berlebih (over urbanization) di suatu kota adalah imbas dari persoalan yang muncul di desa asal migran. Akibatnya, sepanjang persoalan di daerah asal itu tidak ditangani dengan baik, maka kebijakan "pintu tertutup" yang dikembangkan kota besar di mana pun tidak akan pernah mampu mengurangi arus migrasi.
Bagi PKL yang berada di kawasan tertentu yang masih memungkinkan untuk ditoleransi, kebijakan penataan yang realistis adalah dengan programrombongisasi atautendanisasi. Meskipun program ini bukan jalan keluar yang terbaik bagi ketertiban kota, program ini paling realistis karena dapat mengompromikan kepentingan PKL agar tetap diperbolehkan berdagang di kawasan ramai. Sementara pada saat yang sama keindahan kawasan itu tetap terjaga karena para PKL bersedia diatur sedemikian rupa. Keberadaan PKL dirasakan perlu dengan syarat tidak mengganggu ruang publik yakni fungsi bahu jalan untuk pejalan kaki dan fungsi jalan bagi kendaraan bermotor. Karena itu perlu dihitung berapa daya dukung bahu jalan bagi PKL agar PKL tetap dapat berdagang dan masyarakat tidak diganggu hak publiknya
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pedagang kaki lima adalah orang yang dengan modal yang relatif sedikit berusaha di bidang produksi dan penjualan barang-barang (jasa-jasa) untuk memenuhi kebutuhan kelompok tertentu di dalam masyarakat, usaha tersebut dilaksanakan pada tempat-tempat yang dianggap strategis dalam suasana lingkungan yang informal
B. Saran
Saya selaku penulis menyarankan bahwa setelah membaca makalah ini diharapkan agar pembaca dapat mengetahui dan memahami masalah Pedagang Kaki Lima yang dihadapi kota-kota besar dan dapat mengetahui cara-cara penanggulangannya.