Posted by : Anak Bone
Senin, 28 Januari 2013
Kebebasan Pers atau Pers Bebas
Kebebasan pers (bahasa Inggris: freedom of the press)
adalah hak yang diberikan oleh konstitusional atau perlindungan hukum
yang berkaitan dengan media dan bahan-bahan yang dipublikasikan seperti
menyebar luaskan, pencetakan dan penerbitkan surat kabar, majalah, buku
atau dalam material lainnya tanpa adanya campur tangan atau perlakuan
sensor dari pemerintah
Setelah rezim Orde Baru 1998 jatuh, kehidupan
pers di Indonesia memasuki era kebebasan yang nyaris tanpa restriksi (pembatasan).
Bila di era Orba terjadi banyak restriksi, di era reformasi ini pers menjadi
bebas tanpa lagi ada batasan-batasan dari kebijakan pemerintah.
Konstelasi tersebut, tentu sangat dibutuhkan pers dan dalam upaya perwujudan
masyarakat demokratis serta perlindungan HAM. Bukankah kebebasan untuk memperoleh
dan menyebarluaskan informasi (inti dari kebebasan pers) diakui dalam konstitusi
kita (pasal 28 yunto pasal 28F UUD 45 amandemen keempat) serta pasal 19 Deklarasi
Universal HAM?
Karena itu, pers yang bebas sangat penting dan fundamental bagi kehidupan
demokratis. Sekalipun bisa diakui, bahwa pers yang bebas bisa baik dan buruk.
Tapi, tanpa kebebasan pers, sebagaimana yang dikatakan novelis Prancis, Albert
Camus, yang ada hanya celaka.
Kemudian, dimanakah keburukan pers bebas? Pers bebas menjadi buruk. Menurut
Jacob Oetama, bila kebebasan pers yang dimiliki pengelola pers itu tidak disertai
peningkatan kemampuan profesional, termasuk di dalamnya professional ethics
(Jacob Oetama, 2001).
Apakah kemampuan profesional pengelola pers sekarang sudah meningkat? Persoalan
tersebut mungkin bisa diperdebatkan. Namun, apakah etika profesional pengelola
pers tersebut sudah meningkat? Rasanya, pertanyaan itu mudah dijawab, yakni
secara umum malah merosot. Kalangan tokoh pers sendiri mengakui hal tersebut.
Lukas Luwarso, mantan Direktur Eksekutif Dewan Pers menjelaskan, bahwa kebebasan
pers yang sangat longgar saat ini tidak hanya menumbuhkan ratusan penerbit
baru. Akan tetapi, juga menimbulkan kebebasan pers yang anarkis. Kebebasan
pers telah menghadirkan secara telanjang segala keruwetan dan kekacauan. Publik
bisa menjadi leluasa membaca dan menyaksikan pola tingkah figur publik. Serta,
hampir tidak ada lagi rahasia atau privasi. Tabloid-tabloid yang sangat sarat
berita dan foto pornografi sangat marak. Judul-judulnya pun sensasional, menakutkan
dan bahkan menggemparkan (scare headline).
Mekanisme untuk menghentikan kebebasan pers yang kebablasan tersebut secara
formal hanya bisa dilakukan melalui dua cara. Yakni, melalui pengadilan dan
penegakkan etika profesi oleh dewan pers atau atas kesadaran pengelola pers
untuk menjaga kehormatan profesinya (Lengkapnya baca : “Pasal Pornografi
Dalam Pers”).
Guna memaksa, cara kedua ini mungkin lemah dan kekuatannya hanya merupakan
moral prefosi. Sejarah membuktikan, mengharapkan Dewan Pers berdaya menegakkan
etika profesi wartawan adalah sesuatu yang otopis. Sedangkan cara pertama,
penegakkan hukum di pengadilan itu lebih efektif karena bersifat memaksa dan
ada institusi negara untuk memaksakannya.
Dalam konteks tersebut, tindakan polisi sebagai ujung tombak sistem peradilan
pidana menjadi tumpuan. Kalau polisi pasif saja dan menunggu laporan, apalagi
kalau malah ikut menikmati, tentu pers porno akan kondusif berkembang.
Indonesia
Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pasal 4 di dalam ayat 1 disebutkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, ayat kedua bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran, ayat ketiga bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi dan ayat keempat bahwa dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak bahkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan antara lain dalam pasal 28F bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.Amerika Serikat
Komisi Kebebasan pers (1942-1947) atau dikenal pula sebagai Komisi Hutchins (w:Robert Hutchins) sebagai pencetus teori tanggung jawab sosial merupakan sebuah komisi untuk menyelidiki fungsi yang tepat bagi pers dalam demokrasi modern di Amerika serikat dan memberikan lima prasyarat yang dituntut masyarakat modern dari pers.- pers harus menyajikan dalam pemberitaan yang benar, komprehensif dan cerdas, pers dituntut untuk selalu akurat, dan tidak berbohong. fakta harus disajikan sebagai fakta, dan pendapat harus dikemukakan sebagai murni merupakan sebagai pendapat. komisi membedakan kriteria kebenaran menurut ukuran masyarakat dibagi dalam masyarakat sederhana dan masyarakat modern. dalam ukuran masyarakat sederhana, kebenaran akan dicari dengan cara membandingkan pemberitaan dalam pers dengan informasi dari sumber-sumber lain, sementara dalam masyarakat modern, isi pemberitaan pers dianggap merupakan sumber informasi yang dominan, sehingga pers lebih dituntut untuk menyajikan pemberitaan yang benar. sebagai contoh disebutkan bahwa pers harus bisa membedakan secara jelas mana yang merupakan peristiwa politik, dan mana yang merupakan pendapat politisi.
- pers harus berperan sebagai forum pertukaran pendapat, komentar dan kritik. Media dituntut untuk membangun relasi interaktif dengan publik dalam pengertian media menyodorkan suatu masalah kepada khalayak untuk dibahas bersama, meskipun tidak ada aturan hukum yang mewajibkan pers menjalankan fungsi ini. komisi dalam pertemuan dengan tokoh pers, w:Henry Luce penerbit majalah Time and Life misalnya mendefinikan tanggung jawab sosial pers sebagai keharusan memastikan bahwa pers adalah wakil masyarakat secara keseluruhan, bukan kelompok tertentu saja
- pers harus menyajikan gambaran yang khas dari setiap kelompok masyarakat dan pers harus memahami kondisi semua kelompok dimasyarakat tanpa terjebak pada stereotype. Kemampuan ini akan menghindari terjadinya konflik sosial dan pers harus mampu menjadi penafsir terhadap karakteristik suatu masyarakat dan memahaminya seperti aspirasi, kelemahan, dan prasangka. Komisi ini terpengaruh dengan idelogi sosialis yang berkembang pada masa-masa perang dunia kedua yang yang membedakan dengan terdahulu dalam teori libertarian.
- pers harus selalu menyajikan dan menjelaskan tujuan dan nilai-nilai kemasyarakatan.Pendapat bahwa hal Ini tidak berarti pers harus mendramatisir pemberitaannya, melainkan berusaha mengaitkan suatu peristiwa dengan hakikat makna keberadaan masyarakat pada hal-hal yang harus diraih karena dianggap bahwa pers merupakan instrumen pendidik masyarakat sehingga pers harus “memikul tanggung jawab sebagai pendidik dalam memaparkan segala sesuatu dengan mengaitkannya kepada tujuan dasar kemasyarakatan.
- pers harus membuka akses ke berbagai sumber informasi. Masyarakat industri modern membutuhkan jauh lebih banyak ketimbang dimasa sebelumnya. Alasan yang dikemukakan adalah dengan tersebarnya informasi akan memudahkan pemerintah menjalankan tugasnya. Lewat informasinya sebenarnya media membantu pemerintah menyelesaikan berbagai permasalahan yang terjadi dalam masyarakat.Teori tanggung jawab sosial ini merupakan kontruksi transformatif terhadap pemikiran aliran libertarian yang terdulu dikenal dalam masyarakat pers di Amerika terutama dalam dua hal. yakni
- teori libertarian menganggap akses bebas ke informasi akan tercipta dengan sendirinya. Namun, akses itu harus diupayakan. Akses itu tidak akan ada jika khalayak bersikap pasif terhadap informasi terbatas yang disodorkan kepadanya,
- teori libertarian menganggap media adalah urusan individu, bukan urusan masyarakat, bahkan menyatakan bahwa individu boleh berbeda kepentingan terhadap media, dan hal itu akan membuahkan hasil positif berupa gagasan atau ide yang lebih baik.