Posted by : Anak Bone
Minggu, 14 Oktober 2012
Secara definitif, Ruang Terbuka
Hijau (Green Openspaces) adalah kawasan atau areal permukaan
tanah yang didominasi oleh tumbuhan yang dibina untuk fungsi perlindungan
habitat tertentu, dan atau sarana lingkungan/kota, dan atau pengamanan
jaringan prasarana, dan atau budidaya pertanian. Selain untuk
meningkatkan kualitas atmosfer, menunjang kelestarian air dan tanah, Ruang
Terbuka Hijau (Green Openspaces) di tengah-tengah ekosistem perkotaan
juga berfungsi untuk meningkatkan kualitas lansekap kota.
Sejumlah areal di
perkotaan, dalam beberapa dasawarsa terakhir ini, ruang
publik, telah tersingkir akibat pembangunan gedung-gedung yang cenderung
berpola “kontainer” (container development) yakni bangunan yang
secara sekaligus dapat menampung berbagai aktivitas sosial ekonomi, seperti
Mall, Perkantoran, Hotel, dlsbnya, yang berpeluang menciptakan kesenjangan
antar lapisan masyarakat. Hanya orang-orang kelas menengah ke atas saja yang
“percaya diri” untuk datang ke tempat-tempat semacam itu.
Ruang terbuka hijau yang ideal
adalah 30 % dari luas wilayah. Hampir disemua kota besar di Indonesia, Ruang
terbuka hijau saat ini baru mencapai 10% dari luas kota. Padahal ruang
terbuka hijau diperlukan untuk kesehatan, arena bermain, olah raga dan
komunikasi publik. Pembinaan ruang terbuka hijau harus mengikuti struktur
nasional atau daerah dengan standar-standar yang ada.
Kebijaksanaan pertanahan di
perkotaan yang sejalan dengan aspek lingkungan hidup adalah jaminan terhadap
kelangsungan ruang terbuka hijau. Ruang terbuka hijau ini mempunyai fungsi “hidro-orologis”,
nilai estetika dan seyogyanya sekaligus sebagai wahana interaksi sosial bagi
penduduk di perkotaan. Taman-taman di
kota menjadi wahana bagi kegiatan masyarakat untuk acara keluarga, bersantai,
olah raga ringan dan lainnya. Demikian pentingnya ruang terbuka hijau ini, maka
hendaknya semua pihak yang terkait harus mempertahankan keberadaannya dari
keinginan untuk merobahnya.
Ruang Terbuka Hijau Lindung (RTHL) adalah ruang atau kawasan yang lebih luas, baik dalam bentuk areal memanjang/jalur atau mengelompok, dimana penggunaannya lebih bersifat terbuka/umum, di dominasi oleh tanaman yang tumbuh secara alami atau tanaman budi daya.
Kawasan hijau lindung terdiri dari cagar alam di daratan dan kepulauan, hutan lindung, hutan wisata, daerah pertanian, persawahan, hutan bakau, dsbnya.
Ruang Terbuka Hijau Binaan (RTHB) adalah ruang atau kawasan yang lebih luas, baik dalam bentuk areal memanjang/jalur atau mengelompok, dimana penggunaannya lebih bersifat terbuka/ umum, dengan permukaan tanah di dominasi oleh perkerasan buatan dan sebagian kecil tanaman.
Kawasan/ruang hijau terbuka binaan sebagai upaya menciptakan keseimbangan antara ruang terbangun dan ruang terbuka hijau yang berfungsi sebagai paru-paru kota, peresapan air, pencegahan polusi udara dan perlindungan terhadap flora
Ruang Terbuka Hijau Lindung (RTHL) adalah ruang atau kawasan yang lebih luas, baik dalam bentuk areal memanjang/jalur atau mengelompok, dimana penggunaannya lebih bersifat terbuka/umum, di dominasi oleh tanaman yang tumbuh secara alami atau tanaman budi daya.
Kawasan hijau lindung terdiri dari cagar alam di daratan dan kepulauan, hutan lindung, hutan wisata, daerah pertanian, persawahan, hutan bakau, dsbnya.
Ruang Terbuka Hijau Binaan (RTHB) adalah ruang atau kawasan yang lebih luas, baik dalam bentuk areal memanjang/jalur atau mengelompok, dimana penggunaannya lebih bersifat terbuka/ umum, dengan permukaan tanah di dominasi oleh perkerasan buatan dan sebagian kecil tanaman.
Kawasan/ruang hijau terbuka binaan sebagai upaya menciptakan keseimbangan antara ruang terbangun dan ruang terbuka hijau yang berfungsi sebagai paru-paru kota, peresapan air, pencegahan polusi udara dan perlindungan terhadap flora
Pembangunan sering dicerminkan oleh
adanya perkembangan fisik kota yang Iebih ditentukan oleh sarana dan prasarana
yang ada. Gejala pembangunan terutama di wilayah perkotaan pada masa yang lalu mempunyai
kecenderungan untuk meminimalkan ruang terbuka hijau.Kota Makassar sebagai Ibu
kota Propinsi Sulawesi Selatan dengan luas wilayah 175,77 km2 dengan jumlah penduduk
Iebih kurang 1.285.443 jiwa (2005),. menjadi contoh terhadap fenomena di atas.
Tidak konsistennya penentuan besaran kebutuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota
maupun implementasinya merupakan contoh kasus yang secara kasat mata dapat di
lihat di Kota Makassar. Keberadaan RUTR Kotamadya Ujungpandang tahun 1984 yang
di dibuatkan Perda pada tahun 1987 dan telah direvisi tahun 2001 yang
diharapkan dapat menjadi payung hukum dalam menjamin keberadaan RTH tidak dapat
terwujud, dikarenakan dalam RUTRW 2001 tidak memberikan gambaran secara jelas
luas peruntukan RTH di Kota Makassar. Sehingga tidak heran kiranya jika setiap
tahunnya keberadaan RTH di Kota Makassar semakin berkurang. Padahal keberadaan
RTH dapat mengurangi terjadinya pencemaran udara dan dengan kemampuan
inflltrasinya mampu mengatasi banjir/genangan, sehingga dengan berkurangnya RTH
maka fungsi yang dimiliklnya tidak dapat berperan dengan baik.
2.
Rumusan
Masalah
-
RUTRW Kota Makassar tidak
memperhitungkan fungsi Ruang Terbuka Hijau
-
RUTRW dilanggar oleh Pemerintah Kota
Makassar
-
Kurangnya RTH di Kota Makassar
menyebabkan terjadinya penurunan kualitas udara, banjir/genangan (degradasi
Iingkungan) dan dampak negatif terhadap masyarakat
A.
RUTRW
Kota Makassar tidak memperhitungkan fungsi Ruang Terbuka Hijau
RUTRW
Tahun 2001 lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi hal ini terlihat pada
arah perkembangan dan perluasan kota Makassar dimana dari 5 (lima) zona dimana
zona untuk areal konservasi atau RTH tidak gambarkan secara jelas (kebutuhan
luas dan jenis RTH)
B.
RUTRW
dilanggar oleh Pemerintah Kota Makassar
Pergantian
kepala pemerintahan menyebabkan perubahan arah pembangunan terutama dibidang
lingkungan hidup. Dalam RPJMD tahun 2005-2025 masalah lingkungan tidak
dijadikan dasar kebijakan dalam pelaksanaan pembangunan di Kota Makassar,
padahal dalam RPJMD 1999-2004 masih dijadikan dasar kebijakan dalam
pembangunan, sehingga untuk mengimplementasikan RPJMD tersebut terkadang RUTRW
dilanggar, seperti pembangunan pusat perbelanjaan Alfa di jalan Perintis
Kemerdekaan, padahal di wilayah tersebut berdasarkan peruntukannya dikhususkan
untuk kegiatan pendidikan, industri dan militer
C.
Kurangnya
RTH di Kota Makassar menyebabkan terjadinya penurunan kualitas udara,
banjir/genangan (degradasi Iingkungan) dan dampak negatif terhadap masyarakat
Akibat
semakin meningkatnya aktifitas penduduk kualitas udara di kota Makassar semakin
menurun, dari aktifitas tersebut menghasilkan beban pencemar 71.440,51
gram/hari atau 198.445.861,1 ton/tahun dan CO2 sebesar 383.156,7641 ton/tahun
(2000) yang kemudian mengalami peningkatan pada tahun 2005 sebesar
279.046.694,4 ton/tahun Pb dan 502.254,3426 ton/tahun CO2 sehingga dibutuhkan
luas RTH 8.621,2673 ha dengan jumlah pepohonan 862.127 batang pohon untuk dapat
menyerap zat pencemar diudara. Sedangkan Banjir / genangan yang terjadi
dikarenakan rusaknya lahan didaerah hulu dimana 12.040,63 ha dari total lahan
143.196,37 ha telah menjadi lahan kritis. Hal ini menghasilkan material longsoran
sebesar 235-300 juta m3, yang berdampak pada terjadinya pendangkalan sungai
sehingga daya tampung sungai berkurang, disamping itu pembangunan permukiman,
kawasan industri pada daerah resapan air memberikan konstribusi terhadap
terjadinya banjir/genangan di kota Makassar. Masalah lainnya adalah itu sistem
drainase yang kurang baik, dan letak kota Makasaar yang berada pada daerah
dataran rendah.